Istifta Covid-19 Lockdown dan Eksistensi Fatwa Ulama - dakwah.id

Istifta’: Covid-19, Lockdown, dan Eksistensi Fatwa Ulama

Terakhir diperbarui pada · 2,717 views

Istifta’: Covid-19, Lockdown, dan Eksistensi Fatwa Ulama

 

 

Bertanya tentang suatu permasalahan kepada ulama, disebut istifta’ atau meminta fatwa. Sedangkan definisi fatwa itu sendiri adalah penjelasan tentang hukum syar’i.

Dalam khazanah fikih Islam, keberadaan fatwa telah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masih eksis hingga hari ini. Sejarah fatwa dimulai ketika para sahabat bertanya kepada Nabi tentang hukum suatu perkara, “Wa yastaftuunaka fin nisaa..” (An-Nisa’: 127). “Yastaftuunaka qulillahu yuftiikum fil kalaalah..” (An-Nisa’: 176).

Setelah Sang Rasul wafat, tradisi istifta’ ini terus berlanjut pada masa tabi’in yang banyak menimba ilmu kepada para sahabat. Dalam Tarikh Tasyri’ (sejarah kodifikasi hukum Islam), kita mengenal ulama senior di kalangan sahabat seperti Khulafaur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan termasuk yang paling banyak memberi fatwa adalah; Aisyah Ummul Mukminin.

Di masa berikutnya, murid-murid para sahabat kemudian menjadi guru besar. Merekalah tokoh utama dalam persebaran fikih Islam. Nama-nama agung seperti: Sa’id bin al-Musayyib, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, dan ‘Atha bin Abi Rabah, ditetapkan sebagai “Arkanut Tabi’in.”

Keempat ulama tabi’in tersebut dijuluki ‘arkaan’ atau pondasi, bisa juga diartikan tiang, sandaran dan sebagainya, karena merekalah insan-insan mulia yang sangat diandalkan untuk memecahkan semua permasalahan fikih.

Apabila di masa tabi’in ini ada empat sosok yang sangat berpengaruh, di era tabiut tabi’in juga demikian; ada empat Arakanut Tabi’it Tabi’in. Mereka adalah; Malik bin Anas, imam penduduk Hijaz. Al-Auza’i, imam penduduk Syam. Al-Laits, imam penduduk Mesir. Sufyan Ats-Tsauri, imam penduduk Iraq. (Lihat karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra, 6/8).

Sejak saat itu, istifta’ yang tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial umat Islam, semakin meluas seiring dengan banyaknya wilayah-wilayah yang diislamkan. Praktis, istifta’ pun kemudian menjadi ciri khas dari peradaban Islam itu sendiri. Menandakan bahwa kaum muslimin pada umumnya adalah orang-orang yang sadar hukum, taat aturan, berawatak paternalistik, dan memiliki komitmen yang kuat.

Hari ini, ketika Covid-19 mewabah, ulama kembali diharapkan memberi fatwa dan solusi kepada umat. Ada satu pertanyaan yang sangat relevan dan menjadi dilema kaum muslimin sekarang, “Bolehkah meninggalkan shalat Jumat karena antisipasi virus Corona?”

Beberapa fatwa pun bermunculan. Salah satunya adalah yang dikeluarkan oleh Hay’ah Kibari Ulama Al-Azhar (perkumpulan ulama senior Al-Azhar). “Bayanun lin Nasi Jawazu Iyqaafi Shalawatil Juma’i wal Jama’ati, Himayatan lin Naasi min Fiyrus Kurunaa”. Kurang lebih artinya seperti ini, “Penjelasan kepada umat manusia, bolehnya menghentikan shalat Jumat dan shalat-shalat berjamaah dalam rangka melindungi manusia dari bahaya Virus Corona.”

Baca juga: Ketinggalan Shalat Jumat, Harus Bagaimana?

Fatwa tersebut berdalil dengan sebuah atsar dalam kitab Shahihain bahwa Ibnu Abbas pada musim penghujan pernah memerintahkan muadzin agar mengubah lafal adzan dari “Hayya ‘alash shalah,” (mari kita shalat) menjadi “Shalluu fii buyuutikum.” (tunaikanlah shalat di rumah-rumah kalian).

Maka dari itu, di bagian akhir fatwa tentang virus Corona ini, ulama Al-Azhar menghimbau agar hendaknya para muadzin menyeru umat untuk shalat di rumah masing-masing. Lafal adzan yang dianjurkan, “Shalluu fii buyuutikum.”

Untuk memprkuat hujjah, mereka juga menyebutkan hadits yang bisa dijadikan landasan perlunya lockdown untuk mencegah penularan virus, “Jika kalian mendengar tersebar wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika wabah itu terjadi di tempat kamu berada, jangan tinggalkan tempat itu.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Lebih dari itu, melalui fatwa ini, ulama Mesir jaman now juga menunjukkan kualitas kajian ushul fiqh yang sangat mendalam. Contohnya, mereka mengangkat sebuah hadits dalam Shahih al-Bukhari yang masyhur tentang tercelanya orang yang masuk masjid dengan membawa bau tak sedap seperti bau bawang merah atau bawang putih.

Dharar, bahaya atau bisa juga diartikan hal buruk yang disinggung dalam hadits tersebut, bersifat sementara: aroma menyengat itu bisa hilang dengan sendirinya setelah shalat selesai. Namun demikian, Nabi sangat membenci dan menjauhinya. Maka bagaimana jadinya jika dharar dalam shalat jamaah ini jauh lebih besar dari sekedar bau bawang? Ini tentang wabah yang dengan mudah dan cepat bisa menular hingga kemudian menyebabkan kematian. Tentu an-Nahyu (pelarangan) dan adz-Dzammu (celaan) dalam kasus sekarang, jauh lebih besar. Dalam ushul fikih, metode penyimpulan hukum seperti ini disebut qiyas awlaa.

Baca juga: Shalat Jamaah Selain di Masjid Apakah Sama Nilainya dengan Shalat Jamaah di Masjid?

Namun ada juga fatwa yang berbeda dengan ulama Azhariyun. Syaikh Ahmad al-Kury dari Mauritania misalnya. Beliau mencoba memberi pandangan yang berbeda.

[wp-embedder-pack width=”100%” height=”800px” download=”all” download-text=”Download PDF” attachment_id=”14149″ /]

Sebenarnya, ada sepuluh alasan yang beliau sampaikan untuk menjelaskan kenapa tidak sepakat umat Islam meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah hanya gara-gara pandemi Corona. Namun, tulisan ini hanya menyebut beberapa point utamanya saja supaya lebih ringkas dan mewakili pertimbangan-pertimbangan beliau yang lainnya.

Pertama, tentang urgensi shalat berjamaah. Seperti wajibnya shalat berjamaah dalam keadaan perang, juga tetap berlakunya kewajiban itu bagi Abdullah bin Ummi Maktum yang buta, maka, berulang kali beliau katakan, “Bagaimana mungkin kewajiban itu bisa gugur hanya karena kekhawatiran yang belum pasti?”

Kedua, beliau menyinggung masalah penyebab datangnya penyakit, yang tidak lain dan tidak bukan adalah karena kemaksiatan. Maka seharusnya memperbanyak shalat, bukan malah meninggalkannya.

Ketiga, tentang masalah qadha’ dan qadar.

Keempat, tidak ada contoh dari Nabi atau pun sahabat, bahwa ketika wabah melanda, shalat jamaah diliburkan.

Sementara itu, di negeri tercinta ini, dalam merespon pandemi, MUI juga merilis fatwa resmi. Selebaran berisi 10 halaman, tertera di dalamnya nomor 14 tahun 2020. Pembahasan fatwa yang berjudul “PENYELENGGARAAN IBADAH DALAM SITUASI TERJADI WABAH COVID-19” ini, cukup kompherensif dan terperinci.

[wp-embedder-pack width=”100%” height=”1000px” download=”all” download-text=”Downolad Fatwa Ulama MUI” attachment_id=”14148″ /]

 

Baca juga: Virus Corona Menyebar, Adakah Hadits Doa Terhindar dari Wabah Penyakit?

Ada belasan dalil dan beberapa pendapat ulama yang menjadi landasan fatwa. Dari sekian banyak maklumat yang dipaparkan, ada dua hasil keputusan hukum yang paling menarik untuk lebih ditekankan.

Pada butir fatwa keempat, “Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat Zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan akitivitas beribadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.”

Dan pada butir fatwa kelima, “Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Taraweh dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.”

Maa sya’a Allah. Fatwa MUI seakan menjembatani jurang perbedaan antara dua fatwa sebelumnya yang saling bertolak belakang.

Sejak awal, ulama Mesir sangat menekankan bahwa kesehatan badan merupakan min a’dzhamil maqashid asy-syar’iyyah (tujuan pensyariatan yang paling agung dalam Islam) yang harus dijaga. Maka sudut pandang ini memengaruhi produk fatwa mereka yang terkesan sangat protektif dalam menghadapi Covid-19.

Sedangkan fatwa Syaikh Al-Kuri justru sebaliknya. Seakan beliau tidak memerhatikan permasalahan maqashid sama sekali. Wajar jika kemudian kesimpulan hukum beliau cenderung permisive terhadap wabah Tha’un ini.

Sementara itu, kalau dilihat dari butir-butir yang ada, kita bisa melihat kualitas fatwa MUI yang tidak memukul rata. Dibedakannya antara “kondisi yang terkendali” dan “kondisi tidak terkendali.”

Baca juga: Al-Jam’u, Dua Cara Menghadapi Pandemi Corona

Artinya, untuk menentukan penyelenggaran shalat Jumat dan shalat jamaah, dihentikan atau tidak, harus dilakukan studi perwilayah. Tidak bisa secara serempak, seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke, menonaktifkan masjid.

Kesimpulan hukum ini selaras dengan kaidah tentang fatwa yang dicetuskan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Taghayyurul fatwa bitaghayyuril amkinah wal azminah wal ahwal wal asykash.” Intinya, “fatwa bisa berubah dengan berubahnya tempat, waktu, kondisi dan person.”

Jadi, kesimpulannya, jika merujuk pendapat para ulama di atas, sikap apa yang harus kita ambil?

Pertama, usahakan selalu update berita perkembangan penyebaran Covid-19. Bisa bertanya kepada yang ahli dalam hal ini. Atau bisa juga dari akun-akun terpercaya di media sosial.

Kedua, jika di kecamatan kita ada yang positif terserang Covid-19, fatwa ulama Mesir bisa diterapkan.

Ketiga, jika di sekitar kita relatif aman dari persebaran Covid-19, dan semangat mengejar keutamaan shalat berjamaah begitu menggebu, berlaku di sini fatwa MUI butir kelima. Dengan catatan, ikuti SOP shalat berjamaah dari Pak Anis Baswedan dalam situasi sekarang. Di antaranya, bawa sajadah sendiri dan cuci tangan pakai sabun baik sebelum atau sesudah shalat.

Kembali ke masalah istifta’. Pada akhirnya, kita juga perlu melakukan istifta’ kepada hati kita, “Apakah tidak berdosa jika saya meninggalkan shalat Jumat atau shalat berjamaah?”

“Apakah keadaan ini justru membuat kita senang dan semakin bermalas-malasan dalam beribadah?”

Maka, istafti qalbaka!

 

Muhammad Faishal Fadhli a.k.a Ichang Stranger
Depok, Rabu, 18-03-2020

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *