Ramadhan tahun ini (1439H) hari ke 22 Ramadhan jatuh pada hari kamis. Artinya, malam ke-23 terjadi tepat pada malam Jumat. Dengan kata lain, malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat. Ditambah lagi malam ke 23 termasuk bagian dari sepuluh hari terakhir dimana pada hari-hari tersebut adalah waktu disyariatkannya amalan I’tikaf dan menjadi indikasi kuat sebagai waktu terjadinya Lailatul Qadar.
Rumor yang beredar di masyarakat melalui pesan berantai (broadcast) bahwa jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat maka itu adalah pertanda waktu terjadinya Lailatul Qadar.
Broadcast yang beredar via aplikasi whatsapp, channel telegram, line, facebook dan lainnya tersebut menjadi sangat meyakinkan bagi masyarakat muslim di Indonesia sebab memuat sebuah riwayat yang disandarkan kepada Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagai dalil penguat bahwa jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat Ramadhan maka itu pertanda sebagai Lailatul Qadar.
Salah satu kebiasaan netizen yang kurang baik adalah ketika ada informasi baik berupa broadcast ataupun gambar berteks/quote adalah kurang peduli dengan validitas konten. Tentu ini akan sangat berbahaya ketika konten dari informasi tersebut berkenaan dengan perkara syariat Islam dimana harus ada kejelasan dalilnya.
Sebagai sikap hati-hati berkenaan dengan broadcast tentang anggapan Lailatul Qadar terjadi ketika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat perlu diuji dengan mengajukan beberapa pertanyaan penting.
Benarkah Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat maka itu pertanda sebagai Lailatul Qadar?
Apakah pernyataan di atas benar-benar sebagai pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah? Jika bukan, lantas siapa ulama yang menyatakan demikian?
Kemudian, apakah benar pernyataan jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat Ramadhan dapat dijadikan legitimasi kepastian waktu terjadinya Lailatul Qadar?
Benarkah Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat maka itu pertanda kuat sebagai Lailatul Qadar?
Pernyataan syaikh Ibnu Taimiyah yang dijadikan dalil bahwa jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat maka itu pertanda sebagai Lailatul Qadar seperti ini,
إِذَا وَافَقَتْ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ إِحْدَى لَيَالِي الْوِتْرِ مِنْ العَشْرِ الْأَوَاخِرِ، فَهِيَ أَحْرَى أَنْ تَكُوْنَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ
“Jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat dari sepuluh hari terakhir Ramadhan maka itu lebih pantas menjadi Lailatul Qadar.”
Benarkah pernyataan di atas adalah asli pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah? Berdasarkan informasi beberapa ulama kontemporer, wallahu a’lam, disimpulkan bahwa pernyataan tersebut bukanlah pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid pernah ditanya soal keotentikan pernyataan serupa. Beliau belum pernah mendapati Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan demikian.
Pernyataan tersebut justru didapat dalam kitab Lathaif al-Ma’arif karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Ibnu Rajab menukil pernyataan tersebut yang bersumber dari Ibnu Hubairah rahimahullah dengan redaksi yang agak sedikit berbeda.
وَإِنْ وَقَعَ فِي لَيْلَةٍ مِنْ أَوْتَار الْعَشْرِ لَيْلَةَ جُمُعَةٍ، فَهِيَ أَرْجَى مِنْ غَيْرِهَا
“Jika saja Lailatul Qadar terjadi pada sebuah malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir yang bertepatan dengan malam Jumat, maka itu lebih pantas dari malam lainnya.” (Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hanbali, 203)
Baca juga: Menggauli Istri di Malam Jumat Adalah Sunah Rasul, Benarkah itu?
Besar kemungkinan pernyataan “Jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat dari sepuluh hari terakhir Ramadhan maka itu lebih pantas menjadi Lailatul Qadar” yang tersebar di berbagai sosial media tersebut dibangun oleh si pembuat pernyataan di atas pemahaman bahwa malam Jumat adalah malam yang paling utama dalam satu pekan.
Sehingga jika malam Jumat tersebut berada di salah satu malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan maka tentu itu lebih pantas sebagai waktu Lailatul Qadar.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid juga menegaskan bahwa beliau sama sekali belum pernah mendapati pernyataan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau dalam perkataan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menguatkan anggapan di atas.
Syaikh Sulaiman al-Majid dalam salah satu fatwanya pernah ditanya tentang hal serupa. Beliau menjawab, “Kami tidak mengetahui adakah dalil dalam syariat ini tentang malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat sebagai waktu terjadinya Lailatul Qadar. Dengan demikian, pernyataan itu jangan dijadikan keyakinan dan jangan diyakini keshahihannya…”
Apakah benar pernyataan jika malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat Ramadhan dapat dijadikan legitimasi kepastian waktu terjadinya Lailatul Qadar?
Tidak ada informasi yang dapat dipertanggungjawabkan argumentasinya yang menyatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat.
Informasi paling kuat yang terdapat dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya sebatas mengabarkan bahwa Lailatul Qadar itu terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan malam yang lebih pantas untuk terjadinya Lailatul Qadar adalah malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tersebut, tanpa ada penegasan pada urutan hari tertentu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah Lailatul Qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari No. 1878)
Memang ada hadits yang menyebutkan waktu yang lebih sempit dari itu, namun hadits tersebut juga tidak menyebutkan secara pasti di hari ke berapa Lailatul Qadar terjadi.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, seorang laki-laki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermimpi bahwa Lailatul Qadr terdapat pada tujuh hari terakhir (dari bulan Ramadlan). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Aku juga bermimpi seperti mimpimu itu, melihat Lailatul Qadar itu jatuh bertepatan pada tujuh hari terakhir bulan Ramadlan. Maka siapa yang mencarinya, carilah dalam tujuh hari terakhir itu.” (HR. Muslim No. 1985)
Bahkan, tidak adanya informasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menegaskan penentuan urutan hari terjadinya Lailatul Qadar juga dikuatkan dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari.
Dari Abu Said Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan i’tikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan Ramadhan yang diikuti oleh para sahabatnya. Ketika malam kedua puluh satu beliau bersabda,
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَقَدْ رَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ مِنْ صَبِيحَتِهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالْتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وِتْرٍ
“Siapa yang telah beri’tikaf bersamaku maka hendaklah dia beri’tikaf pada sepuluh malam-malam akhir. Sungguh aku telah diperlihatkan tentang malam Lailatul Qadar ini namun kemudian aku dilupakan waktunya yang pasti. Maka carilah pada malam sepuluh akhir dan carilah pada malam yang ganjil.” (HR. Al-Bukhari No. 1887)
Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq ath-Thuraifi mengatakan,
لَمْ يَرِدْ عَنِ النَّبِيِ ﷺ وَلَا عَنْ الصَّحَابَةِ رَبْطُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ بِلَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَلَا مَزِيَّةَ لِلَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَقَدْ ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ النَّهْيُ عَنْ تَخْصِيْصِ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ لِذَاتِهَا بِقِيَامٍ
“Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari sahabat tentang pengaitan Lailatul Qadar dengan malam Jumat. Tidak ada keutamaan khusus pada malam Jumat, bahkan telah jelas dalam hadits sebuah larangan mengkhususkan malam Jumat untuk qiyam (menghidupkan malam dengan ibadah).”
Baik malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat atau tidak, semangat menghidupkan malam 10 hari terakhir tak boleh surut
Meraih kebaikan semestinya juga dilakukan dengan cara yang baik pula. Hal yang paling sensitif dalam pelaksanaan suatu ibadah adalah landasan dalilnya. Sebab, hukum asal dari setiap ibadah adalah terlarang hingga ada dalil yang menunjukkan kebolehan pelaksanaannya. Ibadah itu sifatnya tauqifi, oleh sebab itu selayaknya setiap amal ibadah didasari dengan argumentasi dan cara yang benar.
Berkaitan dengan tersebarnya pesan berantai yang menyebutkan bahwa malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat yang dianggap sebagai waktu Lailatul Qadar yang telah terbukti lemah dari segi sumber pernyataan dan konten pernyataannya cukup dijadikan sebagai sebuah pelajaran.
Baca juga: Membaca al-Kahfi Pada Malam Jumat atau Hari Jumat?
Malam ganjil bertepatan dengan malam Jumat ataupun tidak, semangat menghidupkan malam sepuluh hari terakhir harus tetap terjaga. Meskipun pesan berantai di atas terbukti keliru secara sumber pernyataan dan konten pernyataannya, bukan berarti itu menjadi sebab untuk melemahkan semangat mengejar keutamaan Lailatul Qadar.
Informasi-informasi yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dan diikuti oleh para ulama salaf sudah cukup sebagai motivasi pendongkrak semangat beribadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan; carilah Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir, di malam-malam yang ganjil.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ مُنْحَصِرَةٌ فِي رَمَضَان، ثُمَّ فِي الْعَشْر الْأَخِيرِ مِنْهُ، ثُمَّ فِي أَوْتَارِهِ، لَا فِي لَيْلَةٍ مِنْهُ بِعَيْنِهَا، وَهَذَا هُوَ الَّذِي يَدُلُّ عَلَيْهِ مَجْمُوع الْأَخْبَار الْوَارِدَة فِيهَا
“Lailatul Qadar hanya terdapat di bulan Ramadhan, di sepuluh hari terakhir, di malam yang ganjil, bukan pada urutan malam tertentu yang disebutkan di bulan itu. Inilah yang ditunjukkan oleh begitu banyak riwayat berkenaan tentang itu.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/306) Wallahu a’lam (Sodiq Fajar/dakwah.id)
Kumpulan Materi Khutbah Idul Fitri silakan buka link di bawah ini:
0 Tanggapan