Artikel berjudul “I’dad Siyasi Rasulullah dalam Mempersiapkan Pembebasan Baitulmaqdis” ini adalah seri ketiga dari serial Roadmap Nabawi untuk Membebaskan Baitulmaqdis. Serial lengkap artikel ini dapat sahabat baca pada link berikut:
Seri 1: Keterkaitan Islam dan Baitulmaqdis Sejak Awal Dakwah Nabi di Makkah
Seri 2: I’dad Ma’rifi Rasulullah dalam Mempersiapkan Pembebasan Baitulmaqdis
Seri 3: I’dad Siyasi Rasulullah dalam Mempersiapkan Pembebasan Baitulmaqdis
Seri 4: I’dad ‘Askari Rasulullah dalam Mempersiapkan Pembebasan Baitulmaqdis
Seri 5: Peran Khalifah Abu Bakar dan Umar dalam Melanjutkan Misi
I’dad Siyasi Rasulullah dalam Mempersiapkan Pembebasan Baitulmaqdis
I’dad siyasi untuk pembebasan Baitulmaqdis berlangsung kurang lebih 4—5 tahun. I’dad siyasi dimulai setelah terjadinya Perjanjian Damai Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah, 6 H.
Lantas, aktivitas dan langkah apa saja yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kerangka i’dad siyasi untuk membebaskan Baitulmaqdis?
Berikut ini penjelasan singkatnya.
I’dad Siyasi Pertama: Larangan Tergesa-gesa ke Baitulmaqdis
Langkah pertama adalah Nabi membiasakan generasi sahabat untuk bertindak hati-hati, tidak tergesa-gesa, dan tidak terjebak oleh emosi perasaan.
Nabi SAW melarang generasi sahabat untuk menziarahi Masjidilaqsa selama masih berada dalam penjajahan musuh.
Di sini ada pelajaran politik yang ditanamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada generasi sahabat. Di tengah semangat membara generasi sahabat untuk menziarahi Baitulmaqdis, beliau justru melarang para sahabat untuk berziarah ke sana.
Khutbah Jumat Singkat: Meraih Keutamaan Shalawat Nabi
Rasulullah memberikan larangan tersebut dalam berbagai kesempatan, periode, situasi, dan personal yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut memiliki alasan dan hikmah yang sangat besar.
Jika diteliti dengan cermat, larangan Nabi kepada para sahabat untuk berziarah ke Baitulmaqdis tersebut disampaikan dalam empat situasi, fase, dan personal yang berbeda sebagai berikut.
a. Fase dakwah di Makkah
Pada tahun 5 kenabian terjadi peristiwa besar, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khathab masuk Islam.
Kedua tokoh besar kaum kafir Quraisy tersebut merupakan mualaf ke-39 dan ke-40, menurut riwayat sahabat Arqam bin Abil Arqam yang rumahnya menjadi tempat pembinaan dakwah. Sejak saat itu moril kaum muslimin di Makkah pun meningkat.
Terdorong oleh kerinduan dan semangat yang membara, sahabat Arqam bin Abil Arqam pun memberanikan diri untuk meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia minta izin berziarah ke Baitulmaqdis.
قَالَ الْأَرْقَمُ: فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُوَدِّعَهُ، وَأَرَدْتُ الْخُرُوجَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ. فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قُلْتُ: بَيْتَ الْمَقْدِسِ. قَالَ: وَمَا يُخْرِجُكَ إِلَيْهِ؟ أَفِي تِجَارَةٍ؟ قُلْتُ: لَا، وَلَكِنْ أُصَلِّي فِيهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ هَا هُنَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ ثَمَّ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana?”
Arqam menjawab, “Hendak berziarah ke Baitulmaqdis.”
Beliau bertanya kembali, “Untuk keperluan apa? Apakah engkau hendak berdagang di sana?”
Arqam menjawab, “Bukan. Tetapi, aku hendak melaksanakan shalat di sana.”
Maka beliau pun menasihatinya, “Jika begitu alasanmu, ketahuilah bahwa satu kali shalat di sini (Masjidilharam) lebih baik dari 1000 kali shalat di sana (Masjidilaqsa).” (HR. Al-Hakim no. 6130 dan Ath-Thabaranino. 907)
b. Saat Pembebasan Kota Makkah
Pasukan Islam membebaskan Kota Suci Makkah dari cengkeraman kaum kafir Quraisy pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijriyah. Sekitar 21 tahun setelah kenabian.
Pada saat itu seorang sahabat menyatakan bahwa ia pernah bernazar. Nazarnya, seandainya Makkah berhasil dibebaskan oleh kaum muslimin, niscaya ia akan menunaikan shalat di Masjidilaqsa.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ رَجُلاً قَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى نَذَرْتُ لِلَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّىَ فِى بَيْتِ الْمَقْدِسِ رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: صَلِّ هَا هُنَا. ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا. ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ: شَأْنَكَ إِذًا.
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya seorang laki-laki melapor pada hari pembebasan Kota Makkah, “Wahai Rasulullah, aku pernah bernazar seandainya Allah membebaskan Kota Makkah untuk Anda, aku akan menunaikan shalat di Masjidilaqsa.”
Beliau bersabda kepada sahabat tersebut, “Laksanakanlah shalat itu di sini (Masjidilharam) saja!”
Sahabat itu mengulang lagi permintaan izinnya.
Maka Nabi menjawab, “Laksanakanlah shalat itu di sini (Masjidilharam) saja!”
Namun, sahabat itu tetap “membantah” dan mengulang permintaan izin untuk ketiga kalinya.
Maka (dengan nada jengkel) Nabi bersabda, “Jika begitu, lakukan maumu sendiri!”
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Demi Allah yang telah mengutusku dengan kebenaran. Seandainya engkau menunaikan shalat tersebut di sini, niscaya hal itu sudah mewakili shalat di Masjidilaqsa.” (HR. Ahmad no. 14919 dan Abu Daud no. 3307)
c. Saat pulang dari Umrah Qadha’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin menunaikan umrah qadha’ pada bulan Dzulqa’dah tahun 7 Hijriyah. Sekitar 20 tahun setelah kenabian.
Dalam perjalanan pulang dari Makkah ke Madinah, beliau melangsungkan pernikahan dengan Maimunah bintu Harits radhiyallahu ‘anha.
Suatu saat, mungkin setelah tiba di Madinah, ibunda Maimunah berkata,
وَقَالَتْ مَيْمُونَةُ زَوْجُ النّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنّي جَعَلْتُ عَلَى نَفْسِي. إنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْك مَكّةَ، أَنْ أُصَلّيَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ.
فقال رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَقْدِرِينَ عَلَى ذلك، يحو بَيْنَك وَبَيْنَهُ الرّومُ. فَقَالَتْ: آتِي بِخَفِيرٍ يُقْبِلُ وَيُدْبِرُ. فَقَالَ: لَا تَقْدِرِينَ عَلَى ذَلِكَ، وَلَكِنْ ابْعَثِي بِزَيْتٍ يُسْتَصْبَحُ لَك بِهِ فِيهِ، فَكَأَنّك أَتَيْته.
فَكَانَتْ مَيْمُونَةُ تَبْعَثُ إلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ كُلّ سَنَةٍ بِمَالٍ يُشْتَرَى بِهِ زَيْتٌ يُسْتَصْبَحُ بِهِ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ، حَتّى مَاتَتْ. فَأَوْصَتْ بِذَلِكَ.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernazar. Apabila kelak Allah membebaskan Kota Makkah untuk Anda, niscaya aku akan melakukan shalat di Baitulmaqdis.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Engkau tidak akan mampu melakukannya, karena pasukan Romawi akan menghalangimu.”
Maimunah menjawab, “Saya akan membawa para pengawal, yang akan menjaga keselamatanku dari arah depan dan belakang.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salam bersabda, “Engkau tidak akan mampu melakukannya. Sebagai gantinya, utuslah seseorang untuk membawa minyak penerangan ke sana, niscaya seakan-akan engkau telah mendatangnya.”
Maka Maimunah rutin setiap tahun mengirimkan sejumlah harta ke Baitulmaqdis untuk dibelikan minyak penerangan bagi Masjidilaqsa. Hal itu ia kerjakan sampai akhir hayatnya.
Ketika akan wafat, ia berwasiat agar kebiasaannya tersebut dilanjutkan sepeninggal dirinya. (HR. Al-Waqidi dalam Al-Maghâzî, juz II hlm. 866)
d. Fase dakwah di Madinah
Ibrahim bin Abdullah bin Ma’bad bin Abbas menceritakan,
إِنَّ امْرَأَةً اشْتَكَتْ شَكْوَى. فَقَالَتْ: لَئِنْ شَفَانِي اللَّهُ، لَأَخْرُجَنَّ، فَلَأُصَلِّيَنَّ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ. فَبَرِأَتْ. فَتَجَهَّزَتْ تُرِيدُ الْخُرُوجَ. فَجَاءَتْ مَيْمُونَةَ، زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُسَلِّمُ عَلَيْهَا، فَأَخْبَرَتْهَا ذَلِكَ.
فَقَالَتْ: اجْلِسِي، فَكُلِي مَا صَنَعْتُ، وَصَلِّي فِي مَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: صَلَاةٌ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا مَسْجِدَ الْكَعْبَةِ.
Seorang wanita sahabat di Madinah mengalami sakit keras. Dalam sakitnya ia bernazar, seandainya Allah mengaruniakan kesembuhan kepadanya, ia akan menunaikan shalat di Masjidilaqsa. Setelah ia sembuh dari penyakitnya, ia segera mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan jauh ke Baitulmaqdis.
Sahabat wanita itu mendatangi rumah ibunda Maimunah bintu Harits radhiyallahu ‘anha. Ia mengucapkan salam kepadanya, lalu menceritakan rencananya untuk pergi ke Baitulmaqdis.
Mendengar kisahnya, Maimunah radhiyallahu ‘anha pun menasihatinya dengan penuh kelembutan dan kesabaran.
Beliau berkata kepada wanita itu, “Ayo, silakan duduk dahulu di dalam rumahku. Silakan mencicipi makanan yang aku masak, lalu tunaikanlah nazar shalatmu di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, aku mendengar beliau bersabda, ‘Shalat di Masjidilaqsa itu lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali di Masjid Ka’bah.’” (HR. Ahmad no. 26826)
I’dad Siyasi Kedua: Wakaf Tamim Ad-Dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menulis dokumen wakaf tanah di wilayah al-Khalil untuk Tamim bin Aus ad-Dari dan anak keturunannya.
Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu ‘anhu termasuk orang pertama dari kalangan penduduk Kristen Ortodoks Baitulmaqdis yang masuk Islam. Ia menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di Kota Madinah pada tahun 9 H /628 M.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyumbangkan sebagian penghasilan tanah pertanian yang ditaklukkan dalam Perang Khaibar kepada Tamim bin Aus ad-Dari dan anak-keturunannya, untuk dibelikan tanah wakaf di Kota al-Khalil. Tanah itu merupakan wakaf tanah pertama di Baitulmaqdis, sekaligus wakaf tanah pertama dalam sejarah Islam.
Sebidang tanah wakaf itu menjadi pusat penyiaran Islam di Baitulmaqdis, sebagai persiapan pengetahuan dan persiapan politik, sebelum umat Islam melancarkan aksi militer untuk membebaskan Baitulmaqdis.
Baca juga: Maryam, Perempuan Suci Penjaga Baitul Maqdis
Keberadaan wakaf tanah untuk keluarga besar Tamim bin Aus ad-Dari tersebut dikukuhkan dengan pengakuan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para Khulafaurasyidin, para khalifah Bani Umayyah, para khalifah Bani Abbas, para khalifah Turki Utsmani. Bahkan, pemerintahan penjajah Inggris di Palestina pun mengakuinya secara resmi pada 1927 M.
Sayangnya, Presiden Otoritas Nasional Palestina, Mahmoud Abbas, pada awal Januari 2017 melakukan kejahatan berat terhadap tanah wakaf tersebut. Ia menghibahkan sebidang tanah (seluas 71 dunam dan 159 meter) dari wakaf Tamim ad-Dari tersebut kepada utusan Rusia dari Gereja Kristen Moskow.
Ketiga: Surat Dakwah kepada Penguasa Dunia
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menulis surat dakwah kepada Kaisar Bizantium, Heraklius, yang menjadi penjajah atas negeri Syam secara umum dan Baitulmaqdis secara khusus.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menulis surat dakwah kepada Raja Muqauqis, penguasa negeri Mesir yang merupakan vassal (negara bagian dan bawahan) dari Imperium Kristen Ortodoks Bizantium. (Yasir Abdul Barr/dakwah.id)
Penulis: Yasir Abdul Barr
Editor: Ahmad Robith