Isu egg freezing kembali menjadi sorotan di Indonesia setelah seorang figur publik mengungkapkan di kanal YouTube pribadinya bahwa ia telah menjalani prosedur ini. Artikel ini menerangkan hukum egg freezing dalam pandangan Islam. Selamat menyimak.
Kemajuan teknologi medis menjadi satu keniscayaan. Banyak manfaat yang didapatkan dari kemajuan ini. Sebagai contoh, data WHO mencatat bahwa sejak tahun 2000 hingga 2020, tingkat kematian ibu secara global menurun sekitar 38%, berkat peningkatan layanan kesehatan, termasuk teknologi medis modern.
Salah satu inovasi medis yang kini banyak diperbincangkan adalah teknologi egg freezing atau pembekuan sel telur. Teknologi ini memungkinkan seorang perempuan untuk menyimpan sel telurnya di usia subur untuk digunakan pada masa mendatang.
Masalahnya, seperti banyak inovasi teknologi lainnya, egg freezing membawa dua potensi: potensi membawa maslahat dan potensi membawa madharat. Oleh karena itu, ketika hadir satu inovasi teknologi, dalam hal ini medical technology, penting kiranya untuk tidak asal menerima. Ia perlu dikaji secara lebih dalam dari berbagai aspek.
Pertanyaan mendasar yang muncul di tengah-tengah masyarakat muslim biasanya adalah: Apa hukum egg freezing atau membekukan sel telur dalam Islam?
Apa itu Egg Freezing?
Dalam istilah medis, egg freezing adalah proses membekukan sel telur perempuan untuk digunakan di masa mendatang.
Teknologi ini pertama kali dikembangkan pada akhir 1980-an, namun saat itu hanya digunakan dalam konteks medis yang sangat terbatas. Misalnya saja untuk perempuan penderita kanker yang akan menjalani kemoterapi, yang berisiko merusak ovarium dan menyebabkan infertilitas.
Baru pada awal 2000-an, terjadi terobosan besar lewat teknik vitrifikasi, yaitu pembekuan super cepat yang mencegah pembentukan kristal es dan menjaga struktur halus sel telur. Teknik ini meningkatkan angka keberhasilan secara signifikan dan membuka jalan bagi penggunaan egg freezing tidak hanya untuk alasan medis, tetapi juga untuk alasan sosial dan karier.
Sejak saat itu, banyak negara mulai mengatur dan mengadopsi praktik ini dalam kebijakan reproduksi mereka. Di Amerika Serikat, American Society for Reproductive Medicine (ASRM) pada 2012 mencabut label “eksperimental” dari egg freezing, khususnya untuk alasan medis.
Baca juga: Rokok Elektrik (E-Cigarette) Halal atau Haram?
Prosesnya dimulai dengan dokter akan menyuntikkan hormon agar ovarium menghasilkan banyak sel telur. Setelah matang, dokter mengambilnya dengan prosedur ringan menggunakan alat bantu USG dan jarum kecil.

Setelah diambil, sel telur langsung dibekukan dengan teknik canggih yang disebut dengan vitrifikasi. Semacam “pembekuan kilat” yang mencegah kerusakan pada sel dengan menjaga struktur halusnya tetap utuh. Telur yang sudah beku ini kemudian disimpan di dalam nitrogen cair pada suhu ekstrem agar dapat bertahan bertahun-tahun.
Jika sang pemilik telur siap untuk hamil, sel telur bisa dicairkan dan dibuahi dengan sperma lewat proses bayi tabung (IVF). Jika berhasil, embrio ditanam di rahim dan kehamilan pun dimulai.
Egg Freezing dalam Fatwa Hukum Kontemporer
Negara Malaysia pada Agustus 2022 secara eksplisit mengeluarkan fatwa yang melarang pembekuan sel telur untuk tujuan nonmedis oleh perempuan muslim lajang.
Fatwa ini memperkuat fatwa sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 2003 dan 2015, yang secara tidak langsung melarang prosedur tersebut dengan melarang penggabungan sel telur dan sperma yang dihasilkan sebelum pernikahan. (JAKIM [Malaysia], Himpunan Fatwa Negeri-Negeri, Fatwa Komite Nasional 2003 & 2015; juga Laporan Sidang Muzakarah Khas Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Malaysia, Ogos 2022.)
Majma’ al-Fiqh al-Islāmī (OKI) dalam sidangnya tahun 2009 menyatakan bahwa pembekuan ovum dapat dibolehkan, dengan catatan bahwa proses pembuahan hanya dilakukan dengan sperma dari suami yang sah dan dalam masa ikatan pernikahan yang masih berlaku. Jika proses pembuahan dilakukan setelah perceraian atau wafatnya suami, maka praktik tersebut dilarang, karena dianggap menyalahi prinsip syariah dalam menjaga kejelasan nasab.
Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, juga menekankan bahwa kebolehan itu bersyarat dan tidak bersifat mutlak. Di sini, prinsip dasar fikih yang berlaku adalah bahwa egg freezing hanyalah sarana (wasilah), sehingga hukum egg freezing mengikuti tujuan dan dampaknya. (Fatwa Dar al-Iftā’ al-Miṣriyyah No. 4035 Tahun 2021).
Baca juga: Syarat dan Rukun Pernikahan yang Harus Anda Ketahui
Berdasarkan fatwa dari Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī dan Dar al-Ifta’ Mesir, praktik egg freezing (pembekuan sel telur) pada dasarnya dibolehkan dalam Islam, hanya saja setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, proses pembekuan harus dilakukan tanpa pembuahan, artinya sel telur yang dibekukan tidak boleh bercampur dengan sperma sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah.
Kedua, penggunaan sel telur yang telah dibekukan tersebut hanya diperkenankan dalam konteks hubungan suami istri yang sah secara syariat.
Ketiga, tidak diperbolehkan menggunakan sperma atau sel telur dari pihak ketiga (donor), karena hal ini berpotensi menimbulkan kekacauan dalam nasab.
Keempat, seluruh proses harus menjamin terjaganya nasab, kehormatan keluarga, dan tidak menimbulkan kerancuan atau ketidakjelasan keturunan.
Syarat-syarat ini menunjukkan bahwa kebolehan egg freezing dalam Islam bersifat muqayyad ‘terikat’, bukan mutlak, dan sangat ditentukan oleh jaminan terhadap maqāṣid al-syarī’ah, khususnya dalam aspek perlindungan terhadap keturunan (ḥifẓ al-nasl) dan kehormatan manusia (ḥifẓ al-irdh).
Arah Kemajuan Teknologi dalam Islam
Jika pembekuan sel telur dilakukan dalam rangka pengobatan, seperti bagi perempuan yang akan menjalani kemoterapi dan dikhawatirkan akan kehilangan kesuburannya, maka para ulama kontemporer cenderung membolehkan prosedur ini.
Ini termasuk upaya yang dibenarkan syariah, karena berorientasi pada menjaga potensi keturunan yang sah kelak, dalam ikatan pernikahan.
Tapi, jika pembekuan dilakukan hanya demi menunda kehamilan karena alasan karier atau menunda menikah tanpa alasan syar‘i, maka ini menjadi persoalan yang lebih dari hukum normatif. Karena ini pulalah para ulama merumuskan syarat-syarat yang rigid agar tidak ada penyalahgunaan yang mencederai fitrah dan kehormatan manusia.
Para ulama maqashid syariah seperti Imam al-Ghazali dan Imam asy-Syathibi telah merumuskan lima tujuan utama syariat, yaitu ḥifẓ ad-dīn (menjaga agama), ḥifẓh an-nafs (jiwa), ḥifẓh al-’aql (akal), ḥifẓh aa-nasl (keturunan), dan ḥifẓh al-māl (harta). (Al-Ghazali, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Juz I, hal. 286; asy-Syathibi, al-Muwāfaqāt, Juz II, hal. 8—15)
Artikel Pemikiran: Tidak Punya Anak Bukan Berarti Childfree
Dalam konteks medis, paling tidak ada tiga penjagaan yang sangat dekat dan menjadi dasar pijakan utama: menjaga jiwa, menjaga akal, dan menjaga keturunan.
Artinya, setiap bentuk inovasi kedokteran dan penggunaannya harus dikaji dari sudut pandang apakah ia menjamin kelangsungan hidup yang sehat, menjaga integritas akal manusia (termasuk kesehatan mental), dan tidak mengganggu tatanan nasab serta kehormatan manusia.
Jika salah satu penjagaan tercederai oleh pengembangan teknologi medis tersebut, maka prinsipnya adalah dar’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-masālih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Pengembangan sains medis dalam Islam tidak ditentukan oleh kebolehan secara normatif saja, tetapi juga orientasi penggunaannya. Maqāṣid al-syarī‘ah memberi batas sekaligus arah. Batas agar sains tidak menjadi fatamorgana manfaat yang merusak dan menjaga arah sains agar tetap menjadi alat untuk membangun kehidupan yang lebih adil dan beradab. (M. Wildan Arif Amrulloh/dakwah.id)
Baca juga artikelatau Fikih artikel menarik lainnya karya M. Wildan Arif Amrulloh.
Penulis: Muhamad Wildan Arif Amrulloh
Artikel Fikih lainnya: