dakwahid Berqurban (Udhiyyah) Untuk Orang Yang Sudah Meninggal, Bolehkah?

Berqurban (Udhiyyah) Untuk Orang Yang Sudah Meninggal, Bolehkah?

Terakhir diperbarui pada · 2,465 views

Bagi masyarakat Indonesia yang kondisi ekonominya di bawah rata-rata, tak mudah untuk bisa ikut berqurban (Udhiyyah) di hari raya Idul Adha. Namun semangat untuk melaksanakan ibadah mulia ini terus saja memancar kuat. Berbagai cara dilakukan agar bisa ikut berqurban. Mulai dari nyicil menabung sekian tahun, hingga rela berhutang kepada saudara yang mampu. Tentu, semangat ini muncul dari motivasi imani berdasar petunjuk Nabi.

Karena saking semangatnya, bahkan ada sebagian masyarakat yang bertekad untuk berqurban (Udhiyyah) yang diniatkan sebagai qurban kerabat, saudara, atau orang tuanya yang telah meninggal. Fenomena ini tampaknya memunculkan secuil polemik yang menyeret sebagian umat Islam ke ranah diskusi. Bagaimana sih sebenarnya?, bolehkah berqurban (Udhiyyah) dengan niat atau diatasnamakan pada orang yang telah meninggal?

Baca Juga: Hukum Udhiyyah dengan Binatang Ternak Betina

Menurut Syaikh Abdul Qadir As-Siba’i, termasuk di antara amal shalih yang pelaksanaannya boleh diwakilkan oleh saudara sesama Muslim baik yang dekat maupun jauh, baik yang kaya maupun yang miskin adalah berqurban (Udhiyyah) dengan niatan menggantikan orang yang sudah meninggal, baik itu dari harta orang yang berqurban maupun dari pihak yang diwakilkan. (Abdul Qadir As-Siba’i, Al-Qaul Ash-Shawab fi Ihda’ Ats-Tsawab, hlm. 149)

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشٍ أَقْرَنَ، يَطَأُ فِي سَوَادٍ، وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ، فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ، فَقَالَ لَهَا: يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ: أَشْحِذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ، ثُمَّ أَخَذَهَا، وَأَخَذَهُ، فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh untuk diambilkan seekor domba yang bertanduk yang kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk diqurbankan, lantas beliau bersabda kepada ‘Aisyah,

Wahai ‘Aisyah bawalah pisau kemari.’

Kemudian beliau bersabda, ‘Asahlah pisau ini dengan batu.’

Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang beliau perintahkan. Setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya, lalu beliau menyembelihnya. Kemudian beliau mengucapkan,

Dengan nama Allah, ya Allah terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.’ Beliau berqurban dengannya.’” (HR. Muslim no. 1967).

Pada lafal “‘An Muhammad wa aali Muhammad”  menunjukkan diterimanya hasil qurban yang dilakukan seseorang sebagai perwakilan dari keluarganya, sehingga dia berserikat dengan mereka dalam hal pahala.

Baca Juga: Berqurban (Udhiyyah) dengan Ayam 

Demikian juga perwakilan seorang mukallaf dari orang lain dalam melaksanakan ketaatan, dianggap sah meskipun tidak ada perintah maupun wasiat dari orang lain. Sehingga sah pula menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, baik itu berupa shalawat atau yang lainnya. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ad-Daruquthni dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,

“Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, Sesungguhnya dulu aku memiliki kedua orang tua yang selalu aku berbakti kepada keduanya ketika masih hidup, lantas bagaimana aku bisa berbakti kepada keduanya sepeninggal mereka?

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya di antara wujud berbakti setelah berbakti kepada mereka di dunia adalah dengan engkau bershalawat bagi keduanya bersama shalawatmu, dan engkau puasa untuk keduanya bersama puasamu.” (Ash-Shan’ani, Subulussalam, 2/531)

Dalam kitab Al-Mufasshal fi Ahkam Al-Udhiyah juga lebih dijelaskan bahwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban untuk orang yang sudah meninggal, karena beliau berqurban untuk keluarga dan juga umatnya, sementara di antara mereka ada yang sudah meninggal. (Hassamuddin bin Musa, Al-Mufasshal fi Ahkam Al-Udhiyah, hlm. 167).

Baca Juga: Larangan di Sepuluh Hari Pertama Sebelum Hari Raya Idul Adha 

Hal ini juga dikuatkan dengan perbuatan sahabat dalam sebuah riwayat Abu Daud dari Hanasy, dia berkata, “Saya melihat Ali berqurban (Udhiyyah) dengan dua domba, maka aku bertanya padanya, ‘apa ini?’ dia menjawab, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam berwasiat padaku agar aku berqurban untuknya, maka akupun berqurban untuknya.’” (Abu Daud As-Sirjustani, Sunan Abi Daud, 3/94, hadits no. 2790). [Azzam/dakwah.id]

 

Tema Terkait: Dzulhijjah, Idul Adha, Udhiyyah 

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

1 Tanggapan

Alhamdulillah. Terima kasih atas artikelnya. Jazakallah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *