Hukum UdhiyyahQurban dengan Binatang Ternak Betina-dakwahid

Hukum Udhiyyah/Qurban dengan Binatang Ternak Betina

Terakhir diperbarui pada · 4,714 views

Syarat utama binatang Udhiyyah adalah berasal dari jenis binatang ternak yang berkaki empat. Istilah arabnya Bahimatul An’am. Mulai dari Kambing, sapi, dan Unta. Namun, bolehkah berudhiyah dengan kambing, sapi, atau Unta yang berjenis kelamin betina?

Para ulama fikih sepakat, bahwa hewan Udhiyyah adalah berasal dari jenis binatang ternak berkaki empat. Allah azza wa jalla berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٖ جَعَلۡنَا مَنسَكٗا لِّيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۗ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)

Ibnu Katsir menafsirkan kata Bahimatul An’am dengan Unta, sapi, dan kambing. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, Ibnu Katsir, 1/312)

Ibnu Rusyd, salah satu Ulama fikih mazhab Maliki mengatakan, “Para Ulama berijma’ atas bolehnya berudhiyyah dengan semua jenis binatang ternak.” (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, 1/600)

Asy-Syairazi, Ulama fikih mazhab Syafi’I mengatakan, “Dalam Udhiyyah, tidak boleh menggunakan binatang selain binatang ternak, yaitu Unta, sapi, dan kambing.” (Al-Muhadzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, Abu Ishaq Asy-Syairazi, 1/74))

Asy-Syarbini, Ulama fikih mazhab Syafi’I juga memperkuat, bahwa pendapat itu adalah Ijma ulama. Sebab Udhiyyah adalah bentuk ibadah yang melibatkan binatang khusus, yaitu binatang ternak.” (Mughni al-Muhtaj, Asy-Syarbini asy-Syafi’I, 4/282)

Ibnu Qudamah, seorang Ulama fikih mazhab Hanbali juga mengatakan, “Udhiyyah tidak boleh dengan binatang selain binatang ternak.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, 11/100)

Lebih spesifik dari itu, ternyata para ulama fikih tidak membedakan apakah binatang ternak itu jantan atau betina. Para ulama hanya menyoal seperti apa kriteria binatang ternak yang paling afdhal untuk dijadikan Udhiyyah, tanpa membedakan jenis kelamin. Yang dijadikan pembanding adalah hewan ternak untuk Aqiqah.

Ummu Kurzin radliallahu ‘anha meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

عَلَى الْغُلَامِ شَاتَانِ، وَعَلَى الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كَانَتْ أَمْ إِنَاثًا

“Setiap bayi lelaki disembelihi dua ekor kambing dan atas bayi perempuan disembelihi seekor kambing, tidak masalah bagi kalian apakah kambingnya jantan atau betina.” (HR. An-Nasa’i no, 4217 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i dan al-Irwa 4/391)

Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Asy-Syairazi rahimahullah mengatakan, “Jika dibolehkan jantan dan betina dalam aqiqah berdasarkan hadits di atas, maka sama halnya dengan Udhiyyah boleh dengan jantan atau betina. Karena daging kambing jantan lebih enak (thoyyib). Sedangkan kambing betina lebih basah.” (Al Majmu’, Imam an-Nawawi, 8/222)

Al-Fairuz Abadi, salah satu ulama fikih mazhab Syafi’i juga menjelaskan, “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika Aqiqah berdasarkan hadits ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk Udhiyyah.” (Al-Muhadzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, Abu Ishaq Asy-Syairazi, 1/74)

Imam Nawawi rahimahullah memberi keterangan pada penjelasan Asy-Syairazi tersebut, “Sedangkan selain hewan ternak seperti rusa dan keledai tidaklah sah sebagai hewan kurban tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Begitu juga sah berkurban dengan hewan jantan dan betina dari semua hewan ternak tadi.  Tidak ada khilaf sama sekali mengenai hal ini menurut kami.” (Al Majmu’, Imam an-Nawawi, 8/222).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berudhiyyah dengan dua Gibas (domba jantan) putih yang bertanduk. Lalu beliau mengucapkan nama Allah dan bertakbir, dan beliau meletakkan kedua kakinya di pipi kedua gibas tersebut (saat menyembelih). Dalam lafazh lain disebutkan bahwa beliau menyembelihnya dengan tangannya (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam lafazh lain disebutkan, “Saminain, artinya dua gibas (domba jantan) gemuk.” Dalam lafazh Abu ‘Awanah dalam kitab Shahihnya dengan lafazh, “Tsaminain, artinya  gibas yang istimewa (berharga).” Dalam lafazh Muslim disebutkan, saat menyembelih, beliau mengucapkan, “Bismillah wallahu akbar (artinya: dengan menyebut nama Allah dan Allah Maha Besar).” (HR. Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966) wallahu a’lam. []

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *