Andakah Santri Ramadhan yang Merugi itu-dakwah.id

Andakah Santri Ramadhan yang Merugi itu?

Terakhir diperbarui pada · 1,625 views

Artikel yang berjudul “Andakah Santri Ramadhan yang Merugi itu?” ini adalah artikel ke-17 dari serial artikel #MadrasahRamadhan

 

Bagaimana kabar kalian, para santri Ramadhan?

Jika Ramadhan ini diibaratkan seperti ajang balapan, di mana setiap muslim berlomba menumpuk amal-amal ketaatan, maka sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah putaran terakhir dari ajang perlombaan.

Seperti lazimnya sebuah lomba, putaran terakhir adalah kesempatan yang menentukan hasil akhir. Setiap peserta akan memacu diri, memompa energi semaksimal mungkin demi meraih hasil terbaik dari perlombaan.

Begitulah yang seharusnya dilakukan oleh para santri Ramadhan pada kesempatan sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Di mana seharusnya saat-saat seperti ini dijadikan momentum perubahan dan peningkatan.

Melakukan perubahan, jika memang Ramadhan kali ini kita, para santri Ramadhan, memulainya dengan kurang antusias dan malas-malasan, rasanya dua puluh hari pertama cukup untuk menjadi biasa-biasa saja dalam menabung amal saleh. Maka penghujung Ramadhan adalah momentum perubahan.

Melakukan peningkatan adalah hal yang harus terus diupayakan. Jika sejak garis start permulaan Ramadhan kita telah memulainya dengan semangat dan terpacu dalam amal kebaikan. Maka penghujung waktu di sepuluh hari terakhir adalah kesempatan untuk melakukan peningkatan amal kebaikan. Baik secara kualitas maupun kuantitas.

Jika memang demikian yang kita lakukan, berarti kita telah melakukan apa yang juga dilakukan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam di penghujung waktu Ramadhannya.

Sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam bersungguh-sungguh (dalam ibadah) pada sepuluh malam terakhir (Ramadhan) yang tidak beliau lakukan di malam-malam lainnya.” (HR. Muslim)

Amal itu selain tergantung pada niatnya, juga tergantung pada ending-nya. Bagaimana menutup sebuah amal dalam keistiqamahan dan kualitas terbaik yang bisa diupayakan. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wa salam:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Al-Bukhari)

 

Santri Ramadhan yang Celaka

Ramadhan adalah bulan penuh ampunan, di mana Allah luaskan maaf atas hamba-hamba-Nya. Bagi santri Ramadhan yang merasa penuh dengan dosa, terlalu sering menumpuk salah dan maksiat, maka Ramadhan adalah momentum untuk meraih ampunan.

Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan, di mana segala amal saleh nilainya dilipatgandakan oleh-Nya. Catatan pahala berbilang kali lipat lebih besar nilainya di banding bulan-bulan lainnya. Bagi santri Ramadhan yang merasa cacat amalnya, sedikit bekal akhiratnya, maka Ramadhan menjadi ladang menumpuk pundi-pundi amal kesalehan.

Namun Ramadhan yang cantik jelita dan penuh pesona ternyata belum juga mampu merayu semua hati santri Ramadhan. Masih banyak yang memandangnya sebelah mata, menganggapnya hanya bagian dari ritual tahunan yang mau tidak mau harus dikerjakan.

Materi Khutbah Jumat: 5 Doa Rasulullah di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah menaiki mimbarnya untuk menyampaikan kisah. Kisah ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad.

Mimbar Rasulullah adalah mimbar yang sederhana, terdiri dari tiga undakan yang meninggi agar saat Sang Nabi menyampaikan sesuatu, beliau bisa disaksikan oleh khalayak sahabat.

Namun ada yang menarik pada saat itu, di setiap tapak langkah Nabi menaiki satu undakan tangga mimbarnya, terdengar ucapan “Amin” dari lisannya, dan itu terdengar jelas oleh para sahabat.

Ada tiga anak tangga yang beliau tapaki, maka tiga kali pula ucapan amin dilafalkan. Nabi telah berada di puncak mimbarnya, membalikkan badan, lalu menghadap kepada para hadirin yang siap mendengarkan sabdanya.

Tapi sebelum Nabi mengucapkan sesuatu, seorang sahabat mendahuluinya dengan sebuah pertanyaan yang menunjukkan bahwa ia tengah dipenuhi rasa penasaran.

Wahai Rasulullah, mengapa setiap engkau menaiki anak tangga mimbar, kami mendengar engkau mengucapkan amin?”

Kemudian Nabi shalallahu ‘alahi wa salam bersabda,

قَالَ لَمَا رَقِيْتُ الدَّرَجَةَ الْأُولَى جَاءَنِي جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ شَقِيٌ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِين ثُمَّ قَالَ شَقِيٌ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ فَقُلْتُ آمِيْن ثُمَّ قَالَ شَقِيٌ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْن

“Rasulullah bersabda, ‘Ketika aku menaiki tangga mimbar yang pertama, Jibril ‘alahissalam mendatangiku dan dia berkata, ‘Celaka seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan, kemudian Ramadhan berlalu darinya sedang dia tidak memperoleh ampunan.’ Maka aku ucapkan, ‘Amin.’ Kemudian Jibril berkata, ‘celaka seorang hamba yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya (menua) akan tetapi (keduanya) tidak menjadikan dirinya masuk Surga.’ Aku berkata, ‘Amin.’ Dan kemudian Jibril berkata, ‘Celaka seorang hamba yang disebutkan namamu di sisinya, akan tetapi ia tidak bershalawat kepadamu.’ Aku berkata, ‘Amin.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad)

Coba perhatikan penggalan riwayat ini. Betapa menyeramkan sekali doa dua makhluk-Nya yang mulia atas tiga jenis manusia yang merugi dan sia-sia amalnya.

Satu doa untuk santri Ramadhan yang melewati bulan mulia ini dengan sia-sia tanpa makna, satu doa untuk mereka yang menyia-nyiakan orang tuanya di kala tua, dan satu doa untuk mereka yang pelit melafalkan shalawat saat nama Nabi disebut di sisinya.

Doa ini dimunajatkan oleh malaikat Jibril ‘alahissalam, malaikat yang paling utama, pemimpinnya malaikat. Sedangkan yang mengaminkannya adalah Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, pimpinan para Nabi dan Rasul.

Maka, adakah kemungkinan doa ini tidak terkabul?

Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلَّا الْجُوْعُ، وَرُبَّ قّائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ اِلَّا السَّهْرُ

“Betapa banyak mereka yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa (pahala) dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga. Dan berapa banyak mereka yang bangun malam (untuk ibadah), tidak mendapatkan apa-apa (dari ibadahnya) kecuali hanya begadang.” (HR. An-Nasai, dan Ibnu Majah)

Maka salah satu jenis manusia yang merugi dalam Ramadhan ini, adalah mereka yang hanya mendapatkan bagian lapar dan dahaga sebagai konsekuensi dari puasa. Akan tetapi, pahala mereka lenyap menguap.

 

Santri Ramadhan Merugi di Bulan Suci

Jika Ramadhan diibaratkan sebuah gedung pusat perbelanjaan. Di dalamnya disediakan segala hal yang dibutuhkan manusia sebagai bekal perjalanan, namun dalam bentuk yang berbeda; ampunan, keberkahan, pahala, jawaban atas doa-doa dan kemuliaan.

Hebatnya lagi, semuanya diberikan secara cuma-cuma, hal itu tertulis besar di sebuah baliho besar di depan gedung Ramadhan. Bahwa di dalam gedung ini telah disiapkan semua hal kebaikan yang dibutuhkan manusia sebagai bekal untuk bisa selamat di akhirat.

Pada tanggal satu Ramadhan, seluruh santri Ramadhan memasuki gedung ini. Satu bulan lamanya mereka berada di dalam. Semua orang akan mencari sesuatu yang paling dia butuhkan, ada yang mencari ampunan, ada yang memburu kemuliaan, ada yang sibuk mengumpulkan amal kebaikan.

Tapi ada juga yang hanya menghabiskan waktu dan kesempatan sekedar berkeliling, melihat-lihat tanpa mengambil sesuatu apa pun. Mereka hanya melihat tanpa antusias kepada orang lain yang sedang mengumpulkan bekalnya.

Waktu terus berlari, hingga tepat setelah tiga puluh hari, semua diharuskan keluar dari gedung Ramadhan, waktu mereka untuk mengumpulkan pernak-pernik dari gedung Ramadhan ini telah habis. Kesempatan serupa baru akan ada setahun kemudian.

Maka saat orang-orang keluar dari gedung, tampaklah rupa-rupa santri Ramadhan yang berbeda. Ada yang keluar membawa ampunan, ada yang keluar dari gedung Ramadhan dengan membawa bertumpuk amal kesalehan, dan ada yang keluar memperoleh kemuliaan.

Mereka keluar dengan riang gembira. Selama tiga puluh hari bersusah payah mencari, akhirnya mereka keluar dari gedung Ramadhan dengan berpuas diri, karena usaha tidak pernah mengkhianati hasil.

Namun ada sekelompok santri Ramadhan, pada saat keluar dari gedung Ramadhan, mereka tidak membawa apa-apa. Tangan mereka kosong melompong, yang tampak berbeda hanyalah ukuran tubuh yang semakin mengecil. Mungkin mereka lelah berkeliling dan jalan-jalan dalam gedung Ramadhan. Namun sayang, hanya lelah saja yang mereka dapatkan.

Demikianlah pemisalan bulan Ramadhan. Ia ibarat sebuah gedung megah yang penuh dengan kebaikan. Allah sebagai pemilik gedung yang Maha Murah Hati telah menjanjikan banyak hal yang bisa diperoleh manusia sebagai bekal perjalanan menuju akhirat.

Allah juga telah memberikan pengumuman, melalui al-Quran dan hadits-hadits Nabi, bahwa di dalam bulan Ramadhan ini begitu banyak kebaikan yang bisa dibawa.

Tapi sayangnya, tidak semua orang bisa memahami. Selama sebulan di dalam gedung Ramadhan, ada yang keluar dengan memborong, tapi tidak sedikit yang keluar dengan tangan kosong.

 

Last Minute Ramadhan

Kita telah berada di menit-menit terakhir dari bulan suci ini, last minute Ramadhan. Sebentar lagi perlombaan akan usai dan hanya menyisakan dua jenis manusia; santri Ramadhan yang merugi, dan santri Ramadhan yang beruntung.

Jika selama Ramadhan ini kita benar-benar telah maksimal menjalaninya, maka semoga tidak ada sesal saat keluar darinya. Semoga kita benar-benar memperoleh ampunan, keberkahan, kemuliaan, dan pahala amal yang dilipatgandakan.

Namun, jika kita memulainya dengan kurang baik, maka masih ada kesempatan, di last minute perlombaan Ramadhan ini. Masih ada kesempatan mengejar ketertinggalan amal dari yang lainnya.

Sebagaimana pesan Nabi, “Amal itu tergantung bagaimana akhirnya.” Keputusan ada di tangan kita, para santri Ramadhan, apakah Ramadhan kali ini akan menjadi happy ending full barakah, atau justru sad ending karena kehilangan kesempatan untuk berbenah. Wallahu a’lam (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *