sejarah puasa asyura 10 muharram dakwah.id

Sejarah puasa (Shaum) Asyura Tanggal 10 Muharram

Terakhir diperbarui pada · 5,254 views

Shaum/puasa Asyura adalah shaum yang dilaksanakan tiap tanggal 10  di bulan Muharram dalam hitungan tahun Hijriyah. Kenapa ada shaum yang dilaksanakan di tanggal tersebut? Begini sejarahnya.

Pada masa jahiliyah, orang-orang Quraisy memiliki kebiasaan shaum di tanggal 10 tiap bulan Muharram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun juga melaksanakan shaum itu saat masih berada di Mekah. Hal ini pernah diceritakan oleh Istri beliau, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata,

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan shaum ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga melakukan shaum tersebut. Saat tiba di Madinah, beliau melakukan shaum tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan shaum ’Asyura. Lalu beliau bersabda, ‘Barang siapa yang mau, silakan shaum. Barang siapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak shaum).’” (HR. Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125)

Shaum Asyura yang diamalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat di Mekah, hanya untuk beliau sendiri. Beliau tidak pernah sekalipun memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengamalkan shaum tersebut.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah, saat di Madinah beliau melihat orang yahudi juga melakukan shaum itu. Bahkan, mereka juga menjadikan tanggal 10 Muharram sebagai hari raya istimewa. Orang Yahudi sangat memuliakan hari itu.

Mereka berargumen, bahwa hari 10 Muharram adalah hari di mana Allah ‘Azza wa Jalla menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya. Pada hari itu pula, Allah ‘Azza wa Jalla menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya.

Kisah ini tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bertanya, “Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?”

Orang-orang Yahudi tersebut menjawab,

“Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam lantas bersabda, “Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.” Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan kaum muslimin untuk shaum.” (HR. Muslim no. 1130)

Imam an-Nawawi rahimahullah menguatkan dengan penjelasannya,

“Nabi shallallahu ’alaihi wasallam biasa melakukan puasa ’Asyura di Makkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wasallam tiba di Madinah dan menemukan orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyura, lalu beliau shallallahu ’alaihi wasallam pun juga tetap melakukannya.” (Al-Minhaj Syarh Muslim, 8/11)

BUKAN MENGIKUTI ADAT JAHILIYAH

Terkait dengan shaum Asyura yang diamalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengamalkan shaum tersebut berdasarkan oleh wahyu, bukan mengikuti adat orang-orang jahiliyah sebelumnya.

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

“Namun beliau melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berita mutawatir (dari jalur yang sangat banyak), atau dari ijtihad beliau, dan bukan semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi).” (Al-Minhaj Syarh Muslim, 8/11) Wallahu a’lam (Sodiq Fajar/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *