Daftar Isi
Materi Khutbah Jumat:
Ketika Uang Menjadi Ujian
Pemateri: Ustadz Muhammad Faishal Fadhli
- Link download PDF materi khutbah Jumat ada di akhir tulisan.
- Jika ingin copy paste materi khutbah Jumat ini untuk keperluan repost di media lain, silakan baca dan patuhi ketentuannya di sini: copyright
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِيَ بِتَقْوَى اللَّهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Uang bisa menjadi nikmat, tapi juga bisa menjadi ujian. Ia memudahkan banyak hal, namun terkadang melalaikan. Tidaklah salah bekerja keras mencari uang, yang terpenting bagaimana cara kita memperolehnya, dan untuk apa ia digunakan. Sebab tidak semua yang berlimpah membawa berkah.
Dengan uang, seseorang bisa membangun kebaikan atau justru menumpuk kesombongan. Ia bisa menjadi sarana ibadah, tapi juga bisa menjerumuskan jika hati tidak dijaga. Tidak sedikit yang justru lebih kuat saat diuji dengan kekurangan, namun goyah ketika dompet mulai tebal.
Inilah mengapa memahami cara berpikir tentang uang menjadi penting. Sebab uang bukan semata soal angka, melainkan soal emosi, persepsi, perilaku, dan kebiasaan yang dibentuk sejak lama. Perlu kebijaksanaan agar uang tetap di tangan, bukan merajai hati.
Buku The Psychology of Money karya Morgan Housel, menawarkan banyak pelajaran tentang hal ini. Sebuah buku yang sangat populer dan telah banyak dibedah oleh para influenser, content creator, hingga para pakar. Morgan Housel tidak mengajarkan cara cepat menjadi kaya, tetapi justru mengajak merenungi bagaimana manusia memperlakukan uang.
Banyak gagasan Morgan Housel dalam buku tersebut sejatinya sejalan dengan ajaran Islam yang telah disampaikan sejak lama. Berikut ini beberapa poin dari buku The Psychology of Money yang selaras dengan nilai-nilai islami dan patut untuk direnungi.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Membangun Kekayaan Hakiki
Banyak orang berpikir bahwa untuk sukses secara finansial, seseorang harus cerdas: menguasai angka, piawai dalam investasi, dan lihai membaca peluang. Tapi ada satu hal yang sering luput. Ternyata, keberhasilan dalam mengelola uang lebih ditentukan oleh sikap dan perilaku, bukan sekadar kecerdasan.
Dalam kata pengantar dari buku The Psychology of Money, dijelaskan bahwa gagasan utama Morgan Housel adalah “doing well with money has a little to do with how smart you are and a lot to do with how you behave. And behavior is hard to teach, even to really smart people.”
Bahwa keberhasilan dalam hal uang tidak terlalu bergantung pada seberapa pintar kita, tetapi lebih pada bagaimana kita bersikap. Dan mengubah sikap bukan hal yang mudah, bahkan bagi orang-orang yang sangat cerdas sekalipun. Kebiasaan konsumtif, keinginan untuk pamer, rasa tidak pernah cukup, itu semua bukan soal logika, tapi soal kondisi jiwa.
Menariknya, jauh sebelum teori-teori perilaku keuangan modern berkembang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan satu prinsip emas, sebagaimana dalam hadits riwayat al-Bukhari No. 6446 dan Muslim No. 1051,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ.
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.”
Baca juga: Amal Jariyah dan Logika Investasi Robert Kyosaki
Kalimat ini bukan hanya nasihat moral, tapi juga fondasi dalam membentuk hubungan yang sehat dengan uang. Orang yang kaya jiwanya akan merasa cukup meski hartanya sederhana. Ia tidak mudah silau, tidak terjebak dalam perlombaan status sosial. Ia bersyukur, tenang, dan tahu kapan harus memberi.
Sebaliknya, orang jiwanya miskin, akan selalu merasa kekurangan, walau penghasilannya berlipat-lipat. Ia gelisah melihat pencapaian orang lain, terus mengejar angka tanpa arah, dan akhirnya terperangkap dalam gaya hidup yang memenjarakan.
Kekayaan jiwa membuat seseorang bisa mengelola uang dengan bijak—bukan untuk sekadar memperkaya diri, tetapi juga untuk memberi manfaat. Maka, inilah kunci yang perlu direnungkan: bukan seberapa besar pendapatan kita, tapi seberapa baik kita memperlakukan apa yang kita miliki. Sebab, pada akhirnya, kekayaan bukan tentang isi dompet, tapi isi hati.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Pertama: Berkah Lebih Penting daripada Jumlah
Ada kekayaan yang tak bisa dihitung dengan kalkulator. Kekayaan yang tidak bersuara, tidak mencolok, dan tidak pula perlu dipamerkan. Inilah kekayaan sejati: tersembunyi di balik ketenangan hidup sederhana tapi serba cukup. Inilah jenis kekayaan yang disebut Morgan Housel, “Wealth is what you don’t see.”
Kalimat itu mungkin terdengar asing di tengah dunia yang gemar flexing alias pamer. Tapi Morgan bicara jujur. Kekayaan bukanlah mobil yang diparkir di garasi, atau liburan yang rutin mampir di Insta story.
Kekayaan, kata Morgan, justru ada pada yang tidak terlihat: tabungan yang diam-diam tumbuh, pengeluaran yang ditahan, gaya hidup yang tidak ikut-ikutan. Menariknya, ajaran ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hadits riwayat Muslim no. 2588,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ.
“Tidaklah berkurang harta karena sedekah.”
Sebuah kalimat yang menggeser cara kita menilai kehilangan. Bahwa memberi, bukan berarti sedang mengurangi. Memberi sama dengan menanam. Dan setiap benih yang ditanam dengan niat baik, akan tumbuh dengan cara yang tidak selalu masuk akal bagi neraca ekonomi.
Inilah keberkahan. Sesuatu yang membuat yang sedikit terasa cukup, yang sempit terasa lapang, yang tak terlihat justru paling berarti.
Jauh sebelum Morgan Housel menulis The Psychology of Money, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan hal yang sama, meski dengan bahasa yang berbeda. Morgan bicara sebagai pakar ekonomi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bicara sebagai utusan yang membawa risalah suci. Tapi gagasan utamanya serupa: Yang tampak di mata, belum tentu jadi ukuran. Dan yang tersembunyi, kadang justru itulah inti kekayaan.
Materi Kultum: Kecerdasan Finansial Ilmu Penting bagi Setiap Muslim
Kadang kita tertipu gemerlap yang tampak. Padahal, yang betul-betul membawa ketenangan bukanlah angka di rekening, tapi keberkahan yang menyertainya. Oleh sebab itu, tak perlu heran… jika ada orang yang gajinya besar, tapi hidupnya sempit dikejar-kejar tagihan. Kenapa? Karena hilangnya keberkahan.
Sebaliknya, ada juga yang gajinya pas-pasan, tidak pernah pamer kekayaan, tapi setiap bulan bisa sedekah, bisa bantu orang tua, hidup sehat walafiat, dan masih bisa senyum manis menikmati dunia. Keberkahan itu bukan soal angka, tapi soal rasa di dalam sukma. Bukan logika matematika, tapi logika langit yang mungkin sulit dicerna.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Kedua: Sikap Bijaksana dalam Mengelola Harta
Dalam buku The Psychology of Money, Morgan Housel berkata, “—simple, but easy to overlook—is that building wealth has little to do with your income or investment returns, and lots to do with your savings rate.” (Terkesan sepele tapi sering dilupakan— membangun kekayaan itu lebih banyak ditentukan oleh seberapa banyak kamu menabung, bukan seberapa besar penghasilan atau keuntungan investasimu).
Gagasan ini terdengar sederhana, tapi justru karena kesederhanaannya, ia terlihat sepele sehingga banyak orang melupakannya: membangun kekayaan bukan soal seberapa besar penghasilan atau keuntungan investasi, tapi tentang seberapa besar kemampuan kita menabung.
Prinsip ini sangat sejalan dengan nilai Islam yang mendorong pengelolaan harta secara bijak. Al-Quran mencela dua sifat ekstrem dalam membelanjakan harta: boros (tabdzir) dan kikir (bukhl). Di antara keduanya, Allah memuji jalan tengah yang menjadi ciri khas ‘ibādur-Raḥmān.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, dalam al-Quran Surat al-Furqan: 67,
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
“Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir.(Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.”
Intinya, di antara karakteristik hamba yang dicintai Ar-Rahman, adalah yang tahu kapan membelanjakan, kapan menahan, dan kapan menyimpan.
Menabung, selama tidak dilandasi kekikiran, adalah wujud kebijaksanaan. Ia bukan sekadar tindakan ekonomis, tapi juga bentuk tanggung jawab dan kesadaran akan masa depan. Sekali lagi, Morgan Housel menyebutnya dengan kalimat tajam, “Wealth is what you don’t see.” Kekayaan bukan tentang penampilan, tapi tentang pengendalian diri—tentang kemampuan menahan godaan hidup konsumtif.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan bahwa harta adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Dalam Musnad ad-Darimi hadits nomor 545 disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا وَضَعَهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ.
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara:(1) tentang umurnya untuk apa ia habiskan,(2) tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan,(3) tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan,(4) dan tentang ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya.”
Maka, bersikap bijak dalam mengelola harta artinya adalah menahan diri dari pemborosan, menjauhi sifat kikir, menabung sebagai bentuk persiapan, dan menginfakkan harta di jalan kebaikan dengan seimbang.
Inilah sikap hidup seorang mukmin. Tidak silau oleh dunia, tapi juga tidak menutup diri darinya. Menabung bukan untuk menimbun, tapi untuk menata.
Dari sini kita paham bahwa sikap bijak dalam mengelola harta bukan sekadar soal kecerdasan finansial, tapi juga kedewasaan spiritual.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah….
Ketiga: Risiko dan Keberuntungan Datang Bergantian
Hidup ini penuh kejutan. Kadang kita sudah berusaha keras, merencanakan segala hal dengan matang, tapi hasilnya jauh dari harapan. Di sisi lain, ada orang yang terlihat santai saja, tapi tiba-tiba mendapat rezeki besar atau keberhasilan yang tidak terduga.
Itulah hidup. Ada keberuntungan, ada juga risiko. Meminjam istilah Morgan Housel dalam The Psychology of Money, keduanya seperti saudara. “Luck and risk are siblings.”
Mereka datang silih berganti, dan kita tidak bisa sepenuhnya mengendalikan keduanya. Namun, Islam tidak membiarkan kita bingung menghadapi semua ini. Allah sudah memberi peringatan sejak awal, sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran Surat al-Baqarah: 155,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمۡ بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar.”
Ayat ini menjelaskan bahwa hidup memang penuh ujian. Bahkan Allah sebutkan lima jenis ujian yang nyata dan sangat manusiawi.
Khutbah Jumat Singkat: Sabar dan Tawakal Menghadapi Ujian
Pertama, rasa takut. Bisa berupa rasa ketidakamanan, kecemasan, ancaman, atau kondisi yang tidak menentu.
Kedua, lapar. Bisa berarti krisis pangan, kesulitan ekonomi, atau kebutuhan pokok yang sulit terpenuhi.
Ketiga, kekurangan harta, seperti kehilangan pekerjaan, kerugian finansial, atau bangkrut.
Keempat, kehilangan jiwa: Wafatnya orang-orang tercinta, sahabat, atau keluarga.
Kelima, kekurangan buah-buahan: Kegagalan panen, hasil usaha yang tidak sesuai harapan, atau hasil kerja yang luput begitu saja.
Semua ini menggambarkan risiko nyata dalam kehidupan. Kita tidak boleh terlalu bergantung pada keberuntungan. Tapi juga tidak boleh takut pada risiko. Yang penting adalah bagaimana sikap hati kita saat menghadapi semuanya.
Keberuntungan bisa membuat kita sombong. Risiko bisa membuat kita putus asa. Tapi iman yang kuat, akan membuat kita tetap tenang saat menghadapi keduanya. Ingat! Hidup ini, bukan tentang menang terus atau rugi terus. Tapi, tentang bagaimana menjaga iman walau keadaan tidak selalunya sesuai harapan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam al-Quran Surat al-Anbiya`: 35,
كُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ وَنَبۡلُوْكُمْ بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةٗۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian. Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.”
Demikianlah materi khutbah Jumat tentang inti sari faedah dari buku The Psychologi of Money yang sejalan dengan adab-adab yang harus dijaga oleh setiap muslim.
Titik tekannya tentang hidup sederhana, menjaga hawa nafsu, dan melihat uang sebagai amanah, bukan tujuan. Islam pun menekankan bahwa kekayaan sejati ada pada hati yang merasa cukup, bukan pada jumlah yang dimiliki.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
KHUTBAH KEDUA
أَحْمَدُ رَبِّي وَأَشْكُرُهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.
اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُلُوْبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا، وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِيْنَ لِنِعَمِكَ مُثْنِيْنَ بِهَا عَلَيْكَ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى، والتُّقَى، والْعَفَافَ، والْغِنَى.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Download PDF Materi Khutbah Jumat
Ketika Uang Menjadi Ujian
di sini
Semoga bermanfaat!
Anda ingin mendapat kiriman update materi khutbah
& artikel dakwah.id melalui WhatsApp?