Daftar Isi
Kemunculan gadget dan berbagai teknologi informasi semisal menjadi jawaban memuaskan atas kebutuhan manusia untuk selalu terhubung di mana pun dan kapan pun. Berkabar yang dulunya hanya bisa dilakukan lewat surat dengan waktu yang panjang, kini bisa disingkat dalam hitungan detik.
Dunia benar-benar sudah dilipat dalam genggaman.
Manfaat yang dirasakan dari kemajuan teknologi tidak mungkin untuk dipungkiri. Hanya saja, bagaimana kita bersikap dalam menghadapi kemajuan tersebut, menjadi hal penting yang tak bisa begitu saja diabaikan.
Sebagaimana ketika belajar menggunakan pisau, kewaspadaan agar pisau itu selalu memotong benda yang tepat dan tidak melukai diri sendiri menjadi prioritas kita. Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ringkas ini.
Jebakan Doomscrolling dalam Genggaman
Keterhubungan seluruh manusia dalam sebuah ruang maya pada satu waktu akan menimbulkan sebuah fenomena baru, yaitu pusaran algoritma yang tak terkendali.
Pusaran yang akan menyeret siapa pun yang mendekat itu, akan sangat bergantung dengan hal yang membentuknya. Jika positif, dampaknya akan positif. Pun sebaliknya, jika negatif maka dampaknya juga akan negatif. Masalahnya, tidak semua pengguna gadget memiliki kemampuan untuk mengenali dan menarik diri dari pusaran tersebut.
Baca juga: Bahaya Toxic Dopamine Terhadap Sifat Mujahadah Penuntut Ilmu
Fungsi gadget dari yang mulanya hanya untuk berkabar antarindividu tertentu, bergeser menuju pada pertukaran budaya, informasi, gaya hidup, dan pemikiran yang pada akhirnya membawa manusia pada kebiasaan baru. Kita mengenalnya dengan istilah “scrolling”.
Kebiasaan baru ini tanpa disadari telah melekat pada kehidupan sebagian besar manusia bahkan di usia balita.
Ironisnya, banyak dari kita enggan menyadari efek negatif dari hal tersebut. Padahal, kebiasaan scrolling yang tidak diarahkan pada konten bermanfaat dapat secara perlahan akan membawa pada kebiasaan “doomscrolling”.
Menurut Merriam-Webster (2020), doomscrolling merupakan kecenderungan untuk terus-menerus mencari dan membaca berita buruk secara obsesif, meskipun itu memicu rasa cemas, tidak bahagia, dan keputusasaan.
Tidak sedikit penelitian yang menyebutkan bahwa kebiasaan mengonsumsi kabar (terutama kabar negatif) tanpa kontrol akan berpengaruh pada mentalitas seseorang. Sahabat dakwah.id bisa mengeceknya di sini.
Gadget dan internet telah membawa manusia pada kebiasaan baru: perilaku kompulsif untuk terus-menerus membaca berita, konten-konten yang mengganggu, atau informasi lainnya yang bisa mengubah suasana hati.
Kebiasaan tersebut sering kali juga membawa pada bias bahwa lebih baik kita membaca berita, mengetahui hal baru, dan berpikir atau menjadi “update”. Alih-alih meletakkan handphone dan membiarkan pikiran “kosong” tanpa mendapat asupan informasi apa pun.
Ilusi bahwa kita bisa terus berpikir ketika melakukan aktivitas scrolling ini, atau bahkan ada yang memang secara sadar hanya ingin membuang waktunya melalui gadget saja, menjerat dan membawa diri pada jebakan ruminasi negatif. Sebuah ruang yang akan membuat manusia terus berputar pada masalah yang telah terjadi, tanpa berusaha mencari solusi konkret untuk mengatasinya.
Pikiran-pikiran tersebut akan terus berulang, berlebihan, dan mengganggu, setiap kali layar gawai menyala. Seseorang merasa berpikir, padahal sama sekali tidak produktif.
Banjirnya informasi yang diterima otak, tanpa penyaringan dan tanpa tujuan jelas, akan berdampak pada situasi pengulangan pemikiran suatu peristiwa atau masalah tanpa solusi. Dengan demikian, kegiatan berpikir yang dilakukan tidak memberikan manfaat apa pun. Tidak semestinya seorang muslim seperti ini.
Menjadi bermanfaat merupakan salah satu pesan langit yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal tersebut tentu tidak sebatas pada bagaimana kita bisa menjadi bermanfaat, tetapi juga bagaimana kita bisa membuat sesuatu di sekitar kita (waktu, informasi, dan sebagainya) menjadi bermanfaat bagi diri maupun orang lain.
Lantas, Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama: Sadari dan Beri Jeda
Berhenti sejenak pada setiap aktivitas yang kita lakukan menjadi semacam pit stop penting untuk memaknai dan mengevaluasi gerak-gerik harian, termasuk dalam menggunakan gawai atau gadget, agar tidak terjebak pada kebiasaan yang kadang tanpa disadari memberikan ketenangan dan manfaat yang semu.
Resep ini diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau mendengar kabar tentang Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhuma. Beliau bersabda,
يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهارَ وتَقُومُ اللَّيْلَ؟
“Wahai Abdullah, apakah benar engkau senantiasa berpuasa di siang hari dan beribadah sepanjang malam?”
قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ.
“Benar, wahai Rasul.” jawab Abdullah.
Lantas Rasulullah bersabda,
قَالَ: فَلَا تَفْعَلْ، صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا.
“Jangan engkau lakukan itu terus-menerus, wahai Abdullah. Berpuasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah. Sebab tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan begitu pula dengan istrimu juga memiliki hak atasmu.” (HR. Al-Bukhari No. 1975)
Jika dalam perkara ibadah saja seorang muslim dianjurkan untuk memberikan jeda, dengan syarat ibadah yang dia lakukan memang sudah maksimal bahkan cenderung over, maka kebiasaan menggulir layar gadget lebih layak untuk diberikan jeda karena sering kali jauh berlebihan dibanding ibadah yang justru minim dilakukan.
Persoalannya, realitas hari ini terbalik. Banyak orang bersemangat memberikan jeda pada ibadahnya padahal ibadahnya belum maksimal, dan tidak memberikan jeda pada aktivitas bermedsosnya padahal sudah banyak waktu yang terforsir untuk itu. Semoga kita tidak termasuk dari golongan ini.
Kedua: Kurasi Informasi dan Kendalikan Algoritma
Setelah memberi jeda, selanjutnya kita perlu untuk menerapkan prinsip kurasi dan verifikasi. Dengan berseraknya informasi, kebenaran dan kesalahan akan semakin samar untuk dideteksi.
Oleh sebab itu, penting untuk selalu menyaring apa yang akan menjadi asupan bagi akal dan keyakinan kita. Semakin baik kualitas berita dan informasi yang kita simak, semakin baik pula algoritma yang akan terbentuk.
Prinsip tersebut Allah subhanahu wata’ala firmankan kepada para hamba-Nya dalam QS. Al-Hujurat ayat 6,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Penting bagi kita untuk memvalidasi setiap kabar atau informasi yang diterima. Sebab, di jagat maya, berkumpul tumpah ruah antara mereka yang memang jujur dan mereka yang fasik.
Dengan demikian, sangat penting untuk tidak menerima begitu saja suatu informasi. Kecuali, memang sudah dipastikan reputasi sumber beritanya dan bisa diverifikasi kebenaran isinya.
Terkait hal ini, sahabat dakwah.id dapat membaca artikel: Membentengi Diri dari Hoaks dengan Prinsip Ilmu Hadits
Ketiga, Kembalikan Makna Berpikir: Tafakur, Zikir, dan Membaca dengan Niat
Efek yang ditimbulkan dari scrolling tiada henti adalah bias yang membuat kita merasa terus berpikir. Padahal, aktivitas berpikir yang sebenarnya adalah ketika kita merenung dan menghasilkan suatu kesimpulan dalam waktu yang tidak sebentar. Inilah salah satu kebiasaan yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau biasa ber-tahanuts, menjauh dari hiruk pikuk dunia, menuju sunyi, untuk bertafakur, beribadah, menjauhi kemaksiatan, dan tentu saja berpikir.
Kebiasaan tersebut diceritakan oleh Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam sebuah hadits yang cukup panjang, dan kemudian diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah.
وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ، فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ – وَهُوَ التَّعَبُّدُ – اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ.
“Beliau menyendiri di Gua Hira, lalu bertahanuts di dalamnya—yaitu beribadah—selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya, dan beliau membawa bekal untuk itu.” (HR. Al-Bukhari No. 3)
Berpikir cepat, secepat gerakan scrolling jemari kita, tentu berbeda kualitasnya dengan berpikir dan merenung dalam waktu yang lama. Jadi, mari beri jeda pada kebiasaan kita dalam berselancar di dunia maya.
Beri waktu untuk diri ini merenung dan berpikir yang benar-benar berpikir, berzikir yang benar-benar berzikir. Bukan di sisa-sisa waktu, tetapi pada masa yang dialokasikan memang untuk itu.
Kita Butuh Ruang Sunyi untuk Tetap Waras
Riuh kehidupan dunia hari ini semakin terasa ketika gadget di genggaman tangan. Ia menyeret siapa saja yang terjun bebas di dalamnya tanpa kontrol. Informasi memang penting, akan tetapi kesehatan jiwa dan pikiran kita jauh lebih penting.
Mari hadirkan kembali ruang sunyi dalam kehidupan kita. Ruang untuk bertafakur, beribadah, berzikir, menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia. Sebab, bisa jadi carut marut yang ada dalam diri ini, merupakan carut marut yang terefleksikan dari dunia maya kepada jiwa kita.
Jangan biarkan layar menggantikan kendali atas pikiran, dan mari kembalikan sesuatu sesuai pada porsinya masing-masing. (S.K. Nugroho/dakwah.id)
Baca juga artikel Refleksi atau artikel menarik lainnya karya S.K. Nugroho.
Penulis: S.K. Nugroho
Artikel Refleksi terbaru:
- Gadget dan Bias Pikiran: Ketika Informasi Menggerus Kewarasan Berpikir
- Gaza Mati Kelaparan, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Wahabi Lingkungan: Antara Sinisme, Distorsi, dan Etika Islam Atas Bumi
- Bentengi Diri dari Berita Hoaks dengan Prinsip Ilmu Hadits
- 5 Dosa yang Sering Dilakukan Tanpa Sadar Saat Idul Fitri