Ngaji Fikih 24 Sebab Junub dan Larangan Bagi Orang Junub dakwah id

Ngaji Fikih #24: Sebab dan Larangan Bagi Orang Junub

Terakhir diperbarui pada · 569 views

Secara bahasa, janabah atau junub artinya al-bu’du: menjauh. Istilah ini digunakan untuk dalam pembahasan air mani, jimak, atau pertemuan antara dua kelamin.

Junub merupakan hadats yang disebabkan oleh persetubuhan. Orang yang junub itu tidak suci, dia berhadats besar. Karena itu, dia berkewajiban untuk mandi. Masyarakat biasa menyebut dengan istilah mandi janabah atau mandi besar.

Hukum wajib ini berlaku bagi semuanya: laki-laki, wanita, orang dewasa, atau anak-anak yang sedang tumbuh dewasa.

Berikut ini pembahasan sebab-sebab junub dan larangan bagi orang junub yang disarikan dari kitab Al-Mutamad fi Al-Fiqhi Asy-Syafi’ karya DR. Muhammad az-Zuhali.

 

Sebab-sebab Junub

Junub tidak hanya disebabkan oleh persetubuhan. Ada dua sebab yang menjadikan seseorang dihukumi junub sehingga perlu disebutkan penjelasan terkait dua sebab tersebut.

Pertama: Jimak

Junub disebabkan oleh jimak–persetubuhan. Biasanya dilakukan antara laki-laki dan wanita. Yaitu dengan memasukkan zakar ke dalam farji. Jika demikian maka keduanya wajib melakukan mandi.

Allah berfirman,

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

Jika kamu junub, maka mandilah(QS. Al-Maidah: 6)

Aisyah meriwayatkan, Rasulullah bersabda,

إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Apabila dua orang yang telah dikhitan bertemu (bersetubuh) maka wajib melakukan mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani.” (HR. At-Tirmidzi No. 102)

Mandi juga wajib bagi orang yang memasukkan zakarnya ke dalam farji tanpa disengaja atau tanpa maksud berjimak.

Mandi juga wajib sekalipun memasukkan zakar bukan pada farji yang shahih (istri-istrinya); farji wanita asing, binatang, atau bahkan memasukkannya ke bagian dubur baik menggunakan alat kontrasepsi maupun tidak.

Pembahasan lebih lanjut tentang tata cara mandi wajib silakan baca di artikel Ngaji Fikih #23 Tata Cara Mandi Wajib Menurut Mazhab Syafii.

 

Kedua: Keluar mani

Sebab junub yang lain adalah keluar mani. Seseorang wajib melakukan mandi ketika dirinya mengeluarkan mani. Berlaku bagi semuanya, bagi laki-laki maupun perempuan.

Baik keluar mani karena bersetubuh, bercumbu, mimpi basah, saat tidur atau saat terbangun, sebab mengkhayal, berpikir, dll. Oleh sebab itu, semuanya wajib melakukan mandi.

Seseorang yang mimpi basah namun dia tidak mendapati mani yang keluar, atau ragu apakah keluar mani atau tidak maka tidak wajib mandi.

Ngaji Fikih #22: Syariat Mandi dalam Islam

Sebaliknya, jika mendapati mani ketika bangun tidur, sekalipun tidak ingat bahwa dirinya mimpi basah maka dia berkewajiban untuk mandi oleh sebab mendapati mani.

Diriwayatkan dari Aisyah, suatu ketika seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam perihal laki-laki yang mendapati basah namun dia tidak ingat apakah bermimpi.

Sesudah itu, Nabi menjawab: “Dia harus mandi.” Adapun kepada laki-laki yang bermimpi namun tidak mendapati basah air mani, Nabi menjawab: “Dia tidak perlu mandi.” (HR. Abu Dawud No. 204)

Seseorang yang mendapati tempat tidurnya basah karena air mani, dan tidak ada satu orang pun selain dia yang tidur di kasur itu maka wajib mandi. Jika dia telah mendirikan shalat maka wajib diulangi.

Akan tetapi, jika tempat tidurnya juga dipakai oleh orang lain maka dia tidak wajib mandi oleh sebab keraguannya dalam kasus ini. Hanya saja dianjurkan baginya untuk mandi.

Tidak perlu mandi oleh sebab keluar madzi atau wadzi. Cukup mencucinya dan berwdhu saja.

 

Larangan Bagi Orang yang Junub

Ada beberapa perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang junub, baik junub karena bersetubuh atau karena keluar mani. Beberapa perbuatan ini adalah sebagian yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid dan nifas.

Sebab ada perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid dan nifas namun boleh dilakukan oleh orang yang junub, contohnya bersetubuh itu sendiri.

Berikut ini perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang junub:

Larangan pertama: Shalat

Orang junub tidak boleh melakukan shalat secara mutlak: shalat fardhu, shalat nafilah, maupun shalat yang lain. Allah berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ

Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air(QS. An-Nisa’: 43)

Larangan kedua: Berdiam diri di masjid

Orang junub tidak boleh berdiam diri di dalam masjid, duduk-duduk, dan bersantai-santai di dalamnya.

Orang junub boleh menyeberangi bagian dalam masjid. Baginya tidak makruh menyeberangi masjid jika memang ada hajat dan uzur.

Artikel Fikih: Mandi Jumat dan Mandi Junub Katanya Boleh Dijamak Jadi Satu, Ya?

Sebagaimana firman Allah,

Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub).” (QS. An-Nisa’: 43)

Makna “janganlah kamu (mendekati) shalat” adalah; termasuk di dalamnya mendekati tempat yang biasa digunakan untuk mendirikan shalat.

Larangan ketiga: Thawaf

Orang junub tidak boleh melakukan tawaf di Baitullah. Pada prinsipnya, tawaf itu sama dengan shalat; sama-sama bentuk ibadah yang menyaratkan kesucian pada pelakunya. Akan tetapi, thawaf boleh berbicara sedangkan shalat tidak.

Tambahan pula, pelaksanaan tawaf itu di dalam Masjidil Haram. Ibadah tawafnya sendiri tidak boleh, apalagi ditambah berdiam diri di dalam masjid.

Larangan keempat: Menyentuh mushaf

Orang junub tidak boleh menyentuh mushaf: lembaran, kover, atau bagian mushaf yang lain.

Apabila menyentuhnya saja tidak boleh maka membawanya juga tidak boleh. Namun, boleh membawa barang yang di dalamnya berisi mushaf. Dengan syarat dia tidak bermaksud membawa mushaf tersebut. Contohnya, membawa tas yang di dalamnya berisi mushaf dan barang-barang yang lain.

Orang junub boleh menyentuh dan membawa kitab tafsir sebab pada umumnya kitab tafsir tidak dianggap sebagai mushaf itu sendiri.

Allah berfirman,

لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ

tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79)

Larangan kelima: Membaca al-Quran

Orang junub tidak boleh membaca al-Quran sekalipun hanya satu atau sebagian ayat saja. Apabila dia membaca sebuah kitab dan mendapati di dalamnya terdapat ayat al-Quran maka dia tidak boleh membacanya.

Ibnu Umar meriwayatkan, Rasulullah bersabda,

لاَ يَقْرَأُ الجُنُبُ وَالحَائِضً شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

Orang yang junub dan haid tidak boleh membaca sesuatu apa pun dari al-Quran.” (HR. Al-Bazzar, 12/220. Al-Bani mengatakan hadis ini munkar)

Orang junub boleh membaca kalimat zikir dalam al-Quran dengan niat berzikir atau berdoa, bukan dengan niat membaca. Sementara itu, dia boleh melihat isi al-Quran dan melafalkannya di dalam hati. Sebab yang disebut dengan membaca adalah ketika melafalkannya dari lisan.

Artikel Fikih: Saat Masuk Islam, Haruskah Mandi Dahulu?

Orang junub yang tidak mendapati air untuk mandi, juga tidak mendapati tanah untuk bertayamum, hendaknya tetap mendirikan shalat jika waktunya akan segera habis. Yaitu hanya membaca Al-Fatihah saja dalam shalatnya, tidak membaca yang lain. Demikian itu sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu shalat.

Sunah bagi orang junub untuk segera mandi. Dia boleh mengakhirkan mandi, hanya saja dihukumi sebagai perbuatan yang makruh. Jika hendak langsung tidur, disunahkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Sebagaimana jika akan langsung mengulangi jimaknya, atau akan langsung makan, minum, dan aktivitas lain.

Orang junub boleh membaca zikir, shalawat, bertasbih, bertahlil, bertakbir, dan bentuk zikir yang lain. Sekalipun kalimat-kalimat tersebut tidak lebih utama dari membaca al-Quran saat dirinya tidak sedang junub. (Arif Hidayat/dakwah.id)

 

Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.

Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith

 

 

Serial Ngaji Fikih sebelumnya:
Ngaji Fikih #23 Tata Cara Mandi Wajib Menurut Mazhab Syafii

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

0 Tanggapan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Dakwah.ID

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading