Uhibbuka Fillah, Ungkapan Cinta Karena Allah-dakwah.id

Uhibbuka Fillah, Ungkapan Cinta Karena Allah

Terakhir diperbarui pada · 24,390 views

Mencintai adalah fitrah manusia. Namun, dalam keseharian, ungkapan benci lebih sering terdengar di telinga dari pada ungkapan saling mencintai. Jarang dijumpai seorang muslim mengungkapkan kepada saudara muslim lainnya, “Akhi, ana uhibbuka fillah.” Perasaan cinta yang hanya dibalut dengan iman dan takwa.

Baca juga: Mencintai Allah dan Rasul-Nya Butuh Kejujuran, Bukan Pengakuan

Apa arti ana uhibbuka fillah?

Kalimat ini adalah kalimat berbahasa Arab. Ana artinya ‘aku/saya’. Ada pula yang menggunakan gabungan kata annii. Artinya ‘sungguh aku’.

Uhibbu berasal dari kata kerja ahabba-yuhibbu. Artinya ‘mencintai’. Uhibbu adalah kata yuhibbu yang dimasuki kata ganti pelaku (fa’il) saya (ana). Kemudian dimasuki kata ganti objek (maf’ul) kamu (anta). Jadilah uhibbuka yang artinya ‘aku mencintaimu’.

Fillah itu gabungan dari huruf fii yang artinya ‘di dalam’ atau dalam teks ini diartikan ‘di jalan’, dan kata Allah. Artinya ‘karena Allah’.

Jadi, secara bahasa, ungkapan ana uhibbuka fillah itu artinya ‘aku mencintaimu di jalan Allah’. Ungkapan lain berbentuk, ana uhibbuka lillah. Artinya ‘aku mencintaimu karena Allah’.

Jika ditulis dalam bahasa arab, bentuknya seperti ini: أَنَا أُحِبُّكَ فِي اللَّهِ atau أَنَا أُحِبُّكَ لِلَّهِ

 

Uhibbuka Fillah Bukan Sekedar Ucapan Lisan

Apa makna dari cinta karena Allah ‘azza wajalla?

Cinta karena Allah ‘azza wajalla adalah cinta yang didasari dengan iman dan takwa yang kemudian diimplementasikan dalam amal nyata. Bukan cinta yang didasari karena hubungan nasab. Bukan pula karena keinginan duniawi seperti harta dan tahta.

Cinta karena Allah ‘azza wajalla lebih tinggi dan lebih mulia dari cinta karena hubungan nasab. Cinta karena Allah ‘azza wajalla sebih tinggi dan lebih mulia dari cinta karena harta dan tahta.

Baca juga: Memperdagangkan Iman demi Mengharap Keuntungan

Seorang hamba yang telah meletakkan cintanya pada sesuatu karena Allah, maka ia tidak akan menggubris sedikitpun kondisi fisik luarnya. Tak peduli paras yang ia miliki. Tak peduli jumlah harta yang ada pada dirinya. Tak peduli apa kedudukan dan tahtanya.

Islam mengajarkan, cinta seorang mukmin kepada saudaranya itu harus diberikan karena Allah ‘azza wajalla, dan benci itu juga harus diberikan karena Allah ‘azza wajalla juga. Mencintai karena Allah, membenci juga karena Allah.

Seorang muslim yang mencintai sesamanya dengan cinta karena Allah ‘azza wajalla, ia akan mendapatkan kemuliaan yang sangat tinggi di sisi Allah ‘azza wajalla.

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ لَأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللهِ تَعَالَى قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ تُخْبِرُنَا مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوْا بِرُوْحِ اللهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلَا أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا فَوَاللهِ إِنَّ وُجُوْهَهُمْ لَنُوْرٌ وَإِنَّهُمْ عَلَى نُوْرٍ لَا يَخَافُوْنَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَلَا يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ وَقَرَأَ هٰذِهِ الْآيَةَ ( أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Umar bin Khatthab pernah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat beberapa manusia yang bukan para Nabi dan bukan orang-orang yang mati syahid. Para Nabi dan orang-orang yang mati syahid merasa iri kepada mereka pada hari Kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah Ta’ala.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menceritakan kepada kami siapakah mereka?

Beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai dengan ruh dari Allah tanpa ada hubungan kekerabatan di antara mereka, dan tanpa adanya harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, sesungguhnya wajah mereka adalah cahaya, dan sesungguhnya mereka berada di atas cahaya, tidak merasa takut ketika orang-orang merasa takut, dan tidak bersedih ketika orang-orang merasa bersedih.”

Dan beliau membaca ayat ini: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus: 62).” (HR. Abu Daud No. 3527)

 

Menyampaikan Uhibbuka Fillah Termasuk Sunnah yang Banyak Ditinggalkan

Di tengah banyaknya ungkapan kebencian—karena Allah ‘Azza wa Jalla—yang terucap kepada sesama manusia, jarang dijumpai ungkapan-ungkapan cinta karena Allah ‘Azza wa Jalla kepada sesama manusia.

Padahal, menyampaikan ungkapan cinta karena Allah ‘Azza wa Jalla yang dalam bahasa arab diucapkan dengan uhibbuka fillah kepada sesama muslim adalah amalan sunnah. Namun amalan sunnah ini ternyata banyak  diabaikan oleh kaum muslimin. Jadilah ia sebagai Sunnah Mahjurah, sunnah tapi terabaikan.

Banyak sekali hadits yang mengisyaratkan tentang sunnah untuk saling mencintai dan menyampaikan rasa cintanya kepada saudaranya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ فَلْيَأْتِهِ فِي مَنْزِلِهِ فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ

Apabila salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya, maka datanglah ke rumahnya, lalu beritahu ia bahwa engkau mencintainya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Baca juga: Wasiat Terakhir Rasulullah Saat Haji Wada’ Tahun 10 Hijriyah

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak bisa sempurna keimanan kalian sampai kalian saling mencintai, maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian kerjakan kalian saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Ahmad No. 1430; HR. Ibnu Majah No. 3692; HR. Abu Daud No. 5193; HR. At-Tirmizi No. 2688, hadits shahih)

Kemudian dalam riwayat lain, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia mengisahkan,

أَنَّ رَجُلًا كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنِّي لَأُحِبُّ هَذَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْلَمْتَهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: أَعْلِمْهُ. قَالَ: فَلَحِقَهُ فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّكَ فِي اللَّهِ. فَقَالَ: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِي لَهُ

Seorang laki-laki berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ada seseorang lagi lewat di depannya.

Laki-laki itu lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai orang ini.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda kepadanya: “Apakah kamu telah memberitahunya.”

Ia menjawab, “Belum.”

Beliau bersabda: “Beritahukan kepadanya.”

Laki-laki itu kemudian menyusulnya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.”

Orang itu balik berkata, “Engkau akan dicintai oleh Dzat yang kamu menyukai aku karena-Nya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (No. 5125). Dishahihkan oleh imam an-Nawawi dalam kitab Riyadhush Shalihin (183). Dan dihukumi hasan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Abi Daud.

Baca juga: Pengertian Syariat Islam yang Perlu Anda Ketahui dengan Baik

Hadits di atas mengandung faedah disyariatkannya mengungkapkan rasa cinta kepada sesamanya.

Selain itu, hadits di atas juga menunjukkan bagaimana cara merespon seseorang yang mengungkapkan rasa cintanya kepada dirinya. Yakni membalas ungkapan cinta itu dengan kalimat,

أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِي لَهُ

Engkau akan dicintai oleh Dzat yang kamu menyukai aku karena-Nya.”

 

Hukum Menyampaikan Ungkapan Ana Uhibbuka Fillah kepada Lawan Jenis

Persoalan yang muncul adalah, apakah boleh seorang muslim menyampaikan ungkapan ana uhibbuka fillah kepada lawan jenis? Bukankah ungkapan ini berpotensi kepada timbulnya fitnah antar lawan jenis?

Syaikh Khalid al-Muslih pernah ditanya, bagaimana hukum seorang wanita yang mengucapkan uhibbuka fillah kepada laki-laki bukan mahram.

Beliau menjawab, seorang perempuan tidak boleh menjalin interaksi verbal, semisal mengucapkan ana uhibbuka fillah, atau interaksi non-verbal, via tulisan misalnya, kepada laki-laki bukan mahram.

Alasannya, seorang wanita mukmin itu terlarang untuk melemahlembutkan suaranya ketika berinteraksi dengan laki-laki bukan mahram.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ

Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzāb: 32) 

Ayat di atas menjadi dasar hukum seorang wanita itu ketika berinteraksi dengan selain mahram harus dengan tutur kata yang tegas dan singkat, tidak boleh disampaikan dengan penuh perasaan dan melirih sehingga membuat pendengarnya tergoda. (Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arabi, 3/568)

Dalam ayat di atas, Allah ‘azza wajalla melarang para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak berlemah lembut dalam bertutur kata. Ayat tersebut menggunakan istilah layyin yang artinya berlemah lembut.

Berlemah lembut dalam konteks ini adalah berlemah lembut dalam penggunaan kalimat dalam tutur katanya dan berlemah lembut dalam intonasi pengucapan kalimat tutur katanya.

Selain itu, hukum yang terkandung dalam ayat ini juga tidak hanya berlaku bagi para istri nabi saja, namun berlaku umum untuk seluruh wanita muslimah.

Baca juga: Wanita Muslimah Bekerja di Luar Rumah, Apa Syaratnya?

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid, pembina website islamqa.info dalam salah satu forum tanya jawabnya juga menjelaskan, prinsip dasarnya, rasa cinta antara laki-laki dan perempuan hanya boleh terjadi antara suami-istri atau sesama mahram.

Selain dari dua itu, kaidah syariat mengarahkan untuk memutus hubungan komunikasi antara keduanya dan menutup potensi gerbang fitnah semaksimal mungkin.

Dengan itu, beliau menekankan untuk mencegah terjadinya fitnah dan pelanggaran syariat pada hal lainnya. Maka, seorang muslim makruh hukumnya mengucapkan ana uhibbuka fillah kepada lawan jenis yang bukan mahram dan bukan pasangan suami-istri masing-masing.

Ungkapan ana uhibbuka fillah hanya boleh diucapkan laki-laki kepada laki-laki, perempuan kepada perempuan, dan atau kepada suami-istri masing-masing, atau kepada mahram masing-masing.

Hubungan rasa cinta karena Allah ‘azza wajalla antar sesama muslim—lawan jenis—cukup dipelihara di dalam hati dan terus menjaganya hingga benar-benar cinta itu adalah cinta karena Allah ‘azza wajalla, tanpa terkontaminasi dengan cinta karena selain-Nya.

Sebab, pada hakikatnya rasa cinta antar sesama muslim itu adalah sebuah kewajiban yang harus selalu dijaga. Seorang muslim laki-laki wajib mencintai kaum muslimin secara umum. Seorang muslimah juga wajib mencintai kaum muslimin secara umum.

Semuanya akan mendapatkan pahala sesuai dengan kadar kemurnian cintanya. Setiap kali keimanan dan ketaatan kepada Allah ‘azza wajalla meningkat, maka rasa cintanya karena Allah ‘azza wajalla itu pun juga akan menguat. Dan tidak ada syarat harus mengutarakan cintanya untuk mendapatkan pahala dari-Nya.

Baca juga: Imam Mazhab Mengimbau Umat Untuk Meninggalkan Pendapat yang Menyelisihi Sunnah

Beliau—Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid—menganalogikan hukum ini dengan hukum menjawab salam.

Seorang laki-laki menjawab salam yang diucapkan oleh seorang perempuan hukumnya wajib.

Namun jika perempuan tersebut adalah seorang gadis remaja dimana berpotensi untuk menimbulkan fitnah, atau orang yang menjawab salamnya juga berpotensi terkena fitnah, maka mengucapkan salam ataupun menjawabnya dalam konteks ini hukumnya makruh.

Mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali sepakat mengenai hal ini.

Dalam mazhab Hanafi disebutkan, seorang laki-laki boleh menjawab salam yang diucapkan oleh seorang perempuan jika ia dapat selamat dari fitnah, dan seorang perempuan boleh menjawab salam yang diucapkan laki-laki jika ia dapat selamat dari fitnah. Namun dalam hal ini mazhab Syafii tetap menghukumi haram menjawab salam tersebut. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 25/166)

Akan tetapi jika potensi fitnah bisa dipastikan tidak akan terjadi, seperti seorang muslimah yang mengatakan ana uhibbuka fillah kepada seorang ulama yang memang sudah lanjut usia, dimana itu berlaku karena hubungan antara seorang murid dengan gurunya, dan muslimah tersebut aman dari fitnah, maka ini boleh dilakukan.

Jika ragu apakah ucapan ana uhibbuka fillah kepada lawan jenis akan menimbulkan fitnah atau tidak, maka sikap yang lebih baik adalah meninggalkannya dalam rangka menghindarkan diri dari dampak nagatif yang berpotensi untuk terjadi. Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *