hujjah- Shalat Jamaah selain di Masjid Apakah Sama Nilainya dengan Shalat Jamaah Di Masjid

Shalat Jamaah Selain di Masjid Apakah Sama Nilainya dengan Shalat Jamaah di Masjid?

Terakhir diperbarui pada · 3,985 views

Gema syiar seruan untuk shalat jamaah di masjid akhir-akhir ini mulai menampakkan hasilnya. Masyarakat Muslim laki-laki yang sedianya belum semangat shalat jamaah di masjid, kini mulai berbondong-bondong ke masjid, bahkan ada yang mengajak serta anak dan istrinya. Namun, di beberapa daerah terdapat sebuah pemahaman yang kontra. Shalat jamaah itu nggak harus di masjid. Shalat jamaah selain di masjid pun nilainya sama dengan shalat jamaah di masjid. jadi, nggak perlu repot-repot pergi ke masjid.

Sebagian masyarakat yang memahami bahwa shalat jamaah selain di masjid itu sama nilainya dengan shalat jamaah di masjid menguatkan pemikiran itu dengan pendapat beberapa Ulama fikih. Memang, ini adalah ranah ikhtilaf di kalangan para Ulama fikih.

Namun, apakah pemilihan pendapat yang menyatakan bahwa shalat jamaah selain di masjid ini sama nilainya dengan shalat jamaah di masjid akan mendatangkan mashalat, atau justru membawa mudarat bagi umat? Benarkah shalat jamaah selain di masjid sama nilainya dengan shalat jamaah di masjid? Mari kita urai persoalan ini agar menjadi jelas dan terang.

 

Shalat Jamaah di Masjid dan Shalat Jamaah Selain di Masjid: Ranah Ikhtilaf

Untuk mengurai persoalan ini, perlu kita pahami bahwa dalam persoalan ini terdapat beberapa persoalan hukum yang saling terkait. Pertama, hukum berjamaah dalam melaksanakan shalat wajib lima waktu; sunah ataukah wajib? Kedua, hukum pelaksanaan shalat wajib lima waktu di masjid dan di luar masjid; sunah atau wajib; mana yang lebih utama?

Para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum berjamaah dalam pelaksanaan shalat wajib lima waktu.

Kelompok pertama menyatakan bahwa hukum berjamaah dalam pelaksanaan shalat wajib lima waktu adalah Sunah Muakkadah. Mazhab yang berpendapat seperti ini antara lain mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan sebagian Ulama mazhab Hanafi. (Syarh al-Kabir, 1/319; Bidayatul Mujtahid, 1/102)

Kelompok kedua menyatakan bahwa hukum berjamaah dalam pelaksanaan shalat wajib lima waktu adalah Wajib Kifayah; jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakannya, hilang kewajiban bagi kaum muslimin yang lain. Ini adalah pendapat kedua dalam mazhab Syafii.

Baca Juga: Imam Mazhab Mengimbau Umat Untuk Meninggalkan Pendapat Yang Menyelisihi Sunnah

Imam an-Nawawi menyatakan, “Shalat berjamaah dalam pelaksanaan shalat wajib selain shalat Jumat hukumnya Sunah Muakkadah. Ada pula yang berpendapat Fardhu Kifayah bagi laki-laki, diwajibkan karena berjamaah adalah bentuk menampakkan syiar Islam dalam sebuah daerah. Jika mereka semua enggan melaksanakannya, hukumannya adalah diperangi.” (Minhajut Thalibin, 1/16)

Kelompok ketiga menyatakan bahwa hukum berjamaah dalam pelaksanaan shalat wajib lima waktu di masjid adalah Wajib ‘Ain; setiap Muslim mukallaf terbebani kewajiban ini. Ini adalah pendapat umum dalam mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, mazhab Zahiri—mazhab Hanbali memberi catatan, berjamaah bukan bagian dari syarat sah shalat, mereka juga mengecualikan bagi Muslim yang memiliki udzur syar’i tidak terbebani hukum Wajib ‘Ain ini. (Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibnu Taimiyah fil Fiqh, 23/225)

Al-Bahuti menyatakan, “Berjamaah bukanlah syarat sah shalat. Shalatnya seorang Muslim sendirian tetap sah meski tidak memiliki uzur. Sebab, shalat itu sendiri memiliki keutamaan, dan shalat jamaah keutamaannya berlipat 27 derajat lebih banyak sebagaimana dinaskan dalam hadits Ibnu Umar yang status haditsnya muttafaq ‘alaih. (Ar-Raudh al-Murabba’, 1/23)

Penetapan hukum yang diuraikan ketiga kelompok di atas dalam koridor shalat jamaah tersebut dilaksanakan di masjid, bukan di luar masjid.

Mazhab Zahiri memiliki pendapat yang cukup unik. Mazhab ini memasukkan berjamaah sebagai syarat saha shalat. Orang yang tidak melaksanakan shalat wajib lima waktu secara berjamaah tanpa memiliki uzur syar’i, bagi mereka shalatnya tidak sah.

Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak sah shalat fardhu seorang laki-laki Muslim yang mendengar adzan kemudian ia shalat, kecuali ia laksanakan di masjid bersama Imam. Jika ia menyengaja dalam meninggalkan berjamaah dalam pelaksanaan shalat, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar adzan—jarak rumahnya jauh dari masjid, tetap wajib baginya melaksanakan shalat dengan berjamaah bersama satu orang atau lebih. Jika ia tidak melaksanakannya—secara berjamaah—maka shalatnya tidak sah. Kecuali benar-benar tidak ada orang yang bisa diajak shalat berjamaah bersama dirinya, maka shalatnya yang dilaksanakan secara sendirian itu sah. Demikian pula orang yang memiliki uzur untuk tidak bisa melaksanakan shalat secara berjamaah, shalatnya tetap sah.” (Al-Muhalla, 4/188)

 

Shalat Jamaah Selain Di Masjid

Pendapat yang menyatakan bahwa berjamaah dalam melaksanakan shalat lima waktu itu adalah fardhu ain, mereka berbeda pendapat lagi tentang seabsahannya ketika shalat jamaah tersebut dikerjakan di luar masjid; ada yang berpendapat shalatnya tidak sah dan ada yang berpendapat shalatnya sah namun pelakunya berdosa.

Selain itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa shalat jamaah itu wajib, jika dikerjakan selain di masjid tetap sah namun pelakunya berdosa.

Sementara pendapat yang menyatakan shalat jamaah adalah sunah, menyatakan bahwa pelakasanaan shalat jamaah selain di masjid adalah boleh.

Baca Juga: Azimah: Hukum Yang Boleh Ditinggalkan Karena Adanya Uzur

Dari beberapa perbedaan pendapat di atas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa shalat jamaah di masjid itu wajib, dan ketika berjamaahnya dilakukan selain di masjid, shalatnya tetap sah namun ia berdosa. Dasarnya adalah beberapa dalil berikut ini:

Pertama, hadits dari Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

“Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci lagi mensucikan. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa’at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” (Shahih HR. Bukhari no. 323 dan 419, Muslim no. 810, Nasa’i no. 429, Ahmad no.2606, 13745, 20337, 20352, dan 20463, dan darimi no. 1353 dan 2358)

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat itu tetap sah dikerjakan di tempat manapun di bumi ini. Inilah keistimewaan bagi umat nabi Muhammad.

Kedua, hadits dari aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاكٍ فَصَلَّى جَالِسًا وَصَلَّى وَرَاءَهُ قَوْمٌ قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di rumahnya ketika beliau sedang sakit hingga shalat dengan duduk. Saat itu di belakang Beliau ada orang-orang mengikuti shalat dengan berdiri. Maka Beliau memberi isyarat kepada mereka agar shalat dengan duduk.” (HR. Al-Bukhari No. 1046) https://tafsirq.com/hadits/bukhari/1046

Hadits ini membawa petunjuk atas sahnya shalat jamaah selain di masjid. Jika saja shalat jamaah selain di masjid itu tidak sah, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintah para sahabat untuk pergi ke masjid untuk mendirikan shalat sebab mereka tidak ada udzur untuk itu. Tidak adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi ke masjid dan pembiaran beliau untuk shalat bersama mereka ini menunjukkan bolehnya shalat jamaah selain di masjid.

Ketiga, dari Jabir bin Yazid bin al-Aswad, dari bapaknya, ia berkata,

شهدتُ مع النبي صلى الله عليه وسلم حجتهُ، فصليتُ معهُ صلاةَ الصبحِ في مسجدِ الخيْفِ،

قال: فلما قضَى صلاتهُ وانحرفَ، إذا هو برجلينِ في أُخرَى القومِ لم يصلّيا معهُ،

فقال: عليّ بهما فجيء بهما ترْعدُ فرائصهُما،

فقال: ما منعكُما أن تصلّيا معنا؟

فقالا: يا رسولَ اللهِ، إنا كنّا قد صلينا في رِحالنا،

قال: فلا تفعلا. إذا صليتُما في رحالكُما ثم أتيتُما مسجدَ جماعةٍ فصلّيا معهم، فإنّها لكما نافلةٌ

“Aku hadir bersama Rasulullah di saat beliau haji, maka aku shalat shubuh bersama beliau di masjid Khaif. Manakala beliau telah menyelesaikan shalat beliau dan beliau bergeser, tiba-tiba saja beliau melihat ada dua orang di akhir rombongan dan keduanya tidak shalat bersama beliau. Maka beliau bersabda: ‘Bawa kemari keduanya.’ Maka keduanya dibawa menghadap beliau dalam keadaan pundak mereka berdua gemetaran. Maka beliau bertanya: ‘Apa yang menghalangi kalian berdua untuk shalat bersama kami?’ Maka keduanya berkata: ‘Wahai Rasulullah, kami telah shalat di rumah kami.’ Maka beliau bersabda: ‘Jangan lakukan itu. Jika kalian telah shalat di rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid jamaah, maka shalatlah kalian bersama mereka, karena jamaah tersebut untuk kalian adalah shalat sunnah.” (HR. At-Tirmidzi: 203)

Dalam hadits di atas terdapat petunjuk yang cukup kuat bahwa Nabi sama sekali tidak mengingkari perbuatan keduanya yang mendirikan shalat di rumah mereka. Bahkan, beliau justru membenarkan perbuatan tersebut. Ini menjadi legitimasi atas sahnya shalat berjamaah selain di masjid.

Jadi, bagi sebagian kaum Muslimin yang berpegang teguh pada pendapat bahwa berjamaah dalam melaksanakan shalat lima waktu adalah wajib, maka pelaksanaan shalat jamaahnya adalah di masjid. jika pelaksanaan shalat jamaahnya selain di masjid, dan ia tidak memiliki udzur syar’i, maka ia berdosa. Wallahu a’lam.

 

Apakah Shalat Jamaah Selain di Masjid Mendapat Pahala Berlipat Seperti Shalat Jamaah di Masjid?

Yang dimaksud dengan shalat jamaah selain di masjid di sini adalah shalatnya seorang laki-laki Muslim—berakal, baligh—secara berjamaah yang dilakukan di rumah atau di pasar atau di tempat lainnya selain masjid bersama dengan keluarga atau orang lain karena ada udzur sehingga tidak bisa melaksanakan shalat jamaah di masjid.

Seorang Muslim yang mendrikan shalat jamaah selain di masjid seperti ini oleh para ulama dinyatakan tetap mendapat pahala; pahala berjamaah. Namun, kadar pahala shalat selain di masjid tentu lebih sedikit dibanding pahala shalat jamaah di masjid, sebagaimana shalat jamaah selain di masjid itu lebih baik dan lebih utama daripada shalat munfarid.

Para ulama yang berpendapat bahwa pahala shalat jamaah selain di masjid dan shalat jamaah di masjid adalah sama, mereka berdalil dengan hadits Qabats bin Asyim al-Laitsi radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

صَلَاةُ رَجُلَيْنِ يَؤُمُّ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ مِنْ صَلَاةِ أَرْبَعَةٍ تَتْرَى، وَصَلَاةُ أَرْبَعَةٍ يَؤُمُّهُمْ أَحَدُهُمْ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ مِنْ صَلَاةِ ثَمَانِيَةٍ تَتْرَى، وَصَلَاةُ ثَمَانِيَةٍ يَؤُمُّهُمْ أَحَدُهُمْ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ مِنْ صَلَاةِ مِائَةٍ تَتْرَى

“Shalat dua orang laki-laki dengan salah seorang dari mereka menjadi imam adalah lebih suci di sisi Allah daripada shalat empat orang secara sendiri-sendiri. Shalat empat orang dengan salah seorang dari mereka menjadi imam adalah lebih suci di sisi Allah daripada shalat delapan orang secara sendiri-sendiri. Dan shalat delapan orang dengan salah seorang dari mereka menjadi imam adalah lebih suci di sisi Allah daripada shalat seratus orang secara sendiri-sendiri.” (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Sunan al-Kubra, no. 4745. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih al-Jami’)

Selain hadits tersebut, ada hadits lain yang dijadikan dalil kalangan ulama yang menyimpulkan pahala shalat jamaah di selain masjid itu sama dengan pahala shalat jamaah di masjid. Dari Abu Hurairah radhiyyallahu anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ

“Shalat seorang laki-laki dengan berjamaah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudhunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjamaah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendoakannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’.” Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat. (HR. Al-Bukhari no. 611)

Hadits di atas menerangkankeutamaan melaksanakan shalat jamaah, termasuk di dalamnnya shalat jamaah di masjid ataupun shalat jamaah selain di masjid. Kalimat shalatul Jama’ati Afdhalu min shalatil fadzdzi bi sab’in wa ‘isyrina darajah mengisyaratkan bahwa pelaksanaan shalat jamaah selain di masjid juga mendapatkan keutamaan itu, hanyasaja jika shalat jamaah itu dilaksanakan di masjid tentu mendapatkan pahala lebih banyak, karena ia juga akan mendapat pahala keutamaan masjid.

Maksud dari nash hadits shalatur rajuli fi jama’atin tudh’afu ‘ala shalatihi fi baitihi wa fi suqihi, adalah shalat yang dilakukan di pasar-pasar atau di rumah secara munfarid (sendirian), bukan secara berjamaah. Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahumallah berpegang pada pemahaman yang seperti ini.

Baca Juga: Fikih Shalat Dhuha Dan Pertanyaan Yang Sering Diajukan Tentang Itu

Dalam kitab Syarh Shahih Muslim, saat menerangkan makna dari nash hadits bagian Shalatur Rajuli fi jama’atin tazidu ‘ala shalatihi fi baitihi, wa shalatuhu fi suqihi bidh’an wa ‘isyrina darajatan, imam an-Nawawi menyebutkan, maknanya adalah shalatnya yang dilakukan di rumahnya atau pasar sendirian (munfarid). “Inilah makna yang benar”, kata beliau. (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 5/165)

Dari pernyataan imam An-Nawawi ini tampak beliau memahami bahwa pelaksanaan shalat jamaah di selain masjid itu pahalanya sama berlipatnya dengan pelaksanaan shalat jamaah di masjid.

Ibnu Daqiq al-‘Id berpendapat, “Persoalannya adalah bahwa shalat di masjid dengan berjamaah itu pahalanya berlipat lebih banyak dari shalat di rumah atau di pasar-pasar baik secara jamaah ataupun sendirian (munfarid). Namun makna yang tampak pada nash di atas adalah kebalikannya; shalat selain di masjid sendirian (munfarid), tapi pada realitanya sudah menjadi pemahaman umum bahwa orang yang tidak shalat jamaah di masjid itu biasanya shalatnya sendiri-sendiri (munfarid). (Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 2/135)

Dalam kitab Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud disebutkan, maksud dari nash hadits ‘Ala Shalatihi fi baitihi adalah shalat sendirian (munfarid) sebagaimana pemahaman secara keumuman bahwa seorang laki-laki yang shalatnya di rumah kebanyakan adalah shalat dengan sendirian (munfarid) (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, 2/186)

Imam asy-Syafi’i dan para sahabatnya berpendapat, Anak kecil diperintah untuk ke masjid dan mengikuti shalat jamaah untuk menumbuhkan kebiasaan pada dirinya. (Al-Majmu’, an-Nawawi, 4/1621)

Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dijelaskan bahwa masjid yang paling banyak jumlah jamaahnya lebih utama pahalanya dri masjid yang lebih sedikit jamaahnya. Demikian pula, shalat jamaah selain di masjid yang jumlah jamaahnya banyak itu lebih utama pahalanya daripada jika jumlah jamaahnya sedikit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang, adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah. Semakin banyak jamaahnya, maka semakin dicintai oleh Allah ‘azza wajalla.” (HR. Abu Daud no. 467; HR. An-Nasa’i no. 843; Dihasankan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Abi Daud) https://tafsirq.com/hadits/abu-daud/467

Dari perkataan al-Mawardi di atas, muncul pemahaman bahwa pelaksanaan shalat jamaah di masjid yang jamaahnya sedikit itu tetap lebih utama dari pelaksanaan shalat jamaah di rumah yang jumlah jamaahnya lebih banyak. Pemahaman ini akan terlihat bertentangan dengan sebuah kaidah fikih yang sangat masyhur:

أَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنْ الْمُحَافَظَةِ عَلَى الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا

“Menjaga amal keutamaan yang keutamaannya berkaitan dengan bentuk ibadah itu lebih utama dari menjaga amal keutamaan yang keutamaannya berkaitan dengan tempat.” (Nihayatul Muhtaj, Syihabuddin ar-Ramli, 140)

Jika perginya seorang laki-laki ke masjid untuk shalat jamaah itu mengakibatkan orang di rumah shalatnya sendirian (munfarid), atau menyebabkan keluarga yang ada di rumah bermalas-malasan untuk melaksanakan shalat secara berjamaah, atau jika dia shalat di rumah bisa shalat berjamaah sedangkan ketika ke masjid ia hanya shalat sendirian (munfarid), maka dalam kondisi seperti itu shalat di rumah lebih utama. (Mughni al-Muhtaj, 1/230)

 

Shalat Jamaah di Masjid Lebih Afdhal dari shalat Jamaah Selain di Masjid

Meski memang ada Ulama yang menganggap sah pelaksanaan shalat jamaah selain di masjid, namun pendapat ini terkalahkan secara hukum dan pahala keutamaan dengan pendapat bahwa shalat jamaah itu pelaksanaannya di masjid.

Ketika shalat jamaah dilaksannakan di masjid, maka pelakunya akan mendapat banyak sekali pahala; mulai dari pahala melangkahkan kaki ke masjid, pahala shalat sunah tahiyatul masjid, pahala keutamaan masjid, pahala berjumpa dengan kaum muslimin yang lain, dan masih banyak lagi.

Yang perlu menjadi perhatian setiap Muslim, seruan dan ajakan untuk shalat berjamaah lima waktu di masjid harus terus dikumandangkan, sama sekali tak boleh dilemahkan. Sebab masjid adalah simbol persatuan dan kekuatan umat Islam di manapun yang tiada duanya. Wallahu a’lam.[Shodiq/dakwah.id]

 

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *