Sejarah Wilayatul Faqih Bukti Kerancuan Teologi Syiah dakwah.id

Sejarah Wilayatul Faqih, Bukti Kerancuan Teologi Syiah

Terakhir diperbarui pada · 688 views

Mungkin Anda sering membaca di buku atau menemukan tulisan di blog atau di sosial media tentang salah satu aliran yang telah dinyatakan menyimpang oleh banyak ulama, yaitu aliran Syiah. Salah satu ajaran pokok dalam aliran Syiah adalah konsep Wilayatul Faqih.

Sebelum melanjutkan, silakan cermati pernyataan Khumaini, salah satu tokoh aliran Syiah berikut ini:

Pelantikan saya (sebagai Waliyyu al-Fakih) merupakan mandat dari Allah. Bila saya sudah dilantik maka menaati saya hukumnya wajib, dan rakyat harus mengikuti saya!”

Pemerintahan Iran saat ini merupakan kelanjutan dari kepemimpinan mutlak yang dimiliki Rasulullahia lebih didahulukan dari hukum-hukum agama yang ada. Bahkan, lebih didahulukan dari shalat, puasa, dan ibadah haji!” (Majallat ad-Dirasat al-Iraniyyah, Vol. 02, hal. 85 dalam artikel yang berjudul Wilayat al-Faqih fi al-‘Aql al-Mazhabi oleh DR. Fathi Abu Bakr al-Maraghi)

 

Pengertian Wilayatul Faqih

Kata wilayah berasal dari bahasa Arab wa-li-ya yang memiliki beberapa makna: dekat dengannya; mengikutinya tanpa terpisah; menguasai atau mengurus; menolong; negeri atau daerah yang dikuasai; dan mencintai. (Al-Munjid fi al-Lughah, Louwis Ma’luf, 918)

Sedangkan faqih: orang yang sangat paham, berilmu, dan cerdas; atau orang yang pakar dalam ilmu fikih. (Al-Munjid, Louwis Ma’luf, 591)

Jika digabungkan, menurut ulama Syiah, Wilayatul Faqih adalah:

“Kedudukan seorang fakih yang telah memenuhi syarat-syarat untuk memberikan fatwa dan hukum. Setara dengan penguasa yang sah, pemimpin tertinggi, dan Imam al-Muntazhar (Imam ke dua belas yang ditunggu kedatangannya) di masa kegaibannya.

Tugasnya berupa: mengatur kebijakan politik dan semua urusan umat–baca  Syiah–dan menyiapkan segala bekal untuk melakukan jihad ofensif, yaitu menaklukkan negeri-negeri kafir serta wilayah musuh dengan senjata.” (Mujam Alfazh al-Fiqhi al-Jafari, Ahmad Fathullah, 453)

Sejarah Wilayatul Faqih

Masa Imam yang dua belas

Dalam ajaran Syiah, Imamah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat urgen. Bahkan, merupakan inti dari ajaran Syiah itu sendiri. Literatur mereka mengatakan bumi tidak boleh absen dari Imam maksum sebagai tanda kebenaran Allah subhanahu wataala dan penyampai syariat Allah pasca wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. (Aqidah asy-Syiah al-Imamah, Al-Asfahani, 2-3)

Imam dibekali ilmu secara laduni ,tanpa belajar, serta mendapat wahyu Allah melalui ilham. Karena itu, Syiah Itsna Asyairah memosisikan Imam seperti halnya Nabi. Bahkan Al-Bahrani dan An-Nu‘mani lebih mengutamakan para Imam daripada Nabi. (Al-Burhan, Hasyim bin Sulaiman Al-Bahrani, 24)

Imamah harus ditetapkan melalui mekanisme “teks dan wasiat langsung”, bukan melalui pemilihan (Syura) sebagaimana yang dimiliki Ahlu Sunnah.

Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad sebelum wafat, dengan jelas dan tegas, telah menunjuk Ali radhiyallahu anhu sebagai washi (penggantinya) dan anak keturunannya hingga Imam kedua belas.

Masa kegaiban kecil dan besar

Polemik terjadi manakala Imam kesebelas, Hasan al-‘Askari, meninggal dan tidak memiliki anak. An-Naubakhti mengatakan kondisi ini menyebabkan Syiah terpecah menjadi empat belas kelompok. (Firaq asy-Syiah, An-Naubakhti, 96)

Satu kelompok saja, Syiah Itsna Asyriyah, yang mengklaim bila Imam kesebelas memiliki keturunan Imam kedua belas, Muhammad al-Mahdi, yang bersembunyi dari kejaran Daulah Abbasiyah di Gua Sammara, Irak, pada usianya yang kelima tahun. (Al-Irsyad fi Marifat Hujajillah Ala al-Ibad, Syaikh Al-Mufid, 389)

Dengan bersembunyinya Imam, Syiah memasuki fase kegaiban kecil (al-ghaibah as-sughra), yang dimulai dari tahun 260–329 H. Selama fase ini, tugas dan fungsi Imam baik sebagai pemimpin politik ataupun rujukan (tunggal) agama diwakilkan kepada para wakil Imam yang empat. (Wilayatul Faqih wa Tathawuruha, At-Tuwaijiry, 11–13)

Artikel lain tentang Syiah: Aisyah Istri Rasulullah yang Sangat Dibenci Kaum Syiah

Kebuntuan terjadi manakala keempat wakil imam telah mati (selama 60 tahun) dan Imam tidak juga muncul. Solusinya, dibuatlah konsep baru: kegaiban besar (al-Ghaibah al-Kubra).

Dalam masa ini, seluruh kewajiban agama mulai dari shalat Jumat, pengelolaan khumus, hingga jihad ditiadakan karena seluruh kewajiban tersebut hanya boleh direalisasikan di bawah arahan seorang Imam maksum.

Masa kegaiban besar ini menimbulkan persoalan baru. Pasalnya, Imam bersembunyi terlalu lama dan persoalan umat Syiah bertambah berlipat ganda. Dalam menyikapinya, ada dua kubu: Al-Akhbariyyun dan Al-Ushuliyyun. Kubu pertama mempertahankan keyakinan ini (tekstualis) sedang kubu kedua membuka pintu ijtihad.

Keduanya saling berseteru, hingga al-Ushuliyyun memenangkannya. Inilah bibit lahirnya konsep Wilayatul Faqih. Kita dapat melacaknya pada literatur fikih Syiah pada abad keempat Hijriyah, semisal tulisan syaikh al-Mufid (413 H) dan Sayyid al-Murtadha (436 H).

Konsep ini awalnya hanya memberikan otoritas secara terbatas (an-Niyabah al-Juziyah). Dimana seorang fakih yang telah memenuhi seluruh syarat, berperan sebagai wakil Imam gaib “hanya” dalam perkara pengadilan, penerapan hudud, menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali, shalat Jumat, dan mengumpulkan serta mendistribusikan sedekah dan khumus selama kegaiban Imam. (Mukhtalafu as-Syiah, Abu Mansur al-Hilli, 497)

Pengejawantahan dari konsep an-Niyabah al-Juziyah dalam perkembangannya terkristal dalam sebuah konsep yang dikenal dengan Marja Dini atau Marja Taklid, yaitu pemangku otoritas keagamaan.

Masa dinasti Safawi hingga revolusi Iran

Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa dinasti Syiah Safawi (1502-1772 M) pada awal abad keenam belas Masehi. Ulama Syiah, semisal al-Muhaqqiq al-Karaki, mengakui keabsahan pemerintahan para raja Dinasti Safawi pada masa kegaiban.

Al-Karaki memberikan ulama Syiah posisi dalam kekuasaan politik. Para raja Dinasti Safawi terus menetapkan posisi ini untuk para fakih dalam ranah praktik maupun teoritis. (Ittifaqu al-Kalimah Baina Ulama Ummah, Al-Amily, 130)

Artikel lain tentang Syiah: Takwil Batini, Cara ‘Nyeleneh’ Syiah Mengakali Tafsir Al-Quran

Pada dinasti ini ulama Syiah mendapatkan posisi penting pemerintahan.

Ahmad an-Naraki (1245 H) mengambil langkah lebih besar dalam berteori, yang ia namakan Wilayatul Faqih. Konsep ini memberikan otoritas secara mutlak kepada para fukaha sepadan dengan otoritas yang  Allah berikan kepada Nabi Muhammad dan para Imam maksum. Sehingga, menjadikan mereka sebagai penguasa dan wakil Imam mahdi yang sedang bersembunyi. (Majallat ad-Dirasat al-Iraniyyah, Vol. 02, hal. 83 dalam artikel yang berjudul Wilayat al-Faqih fi al-‘Aql al-Mazhabi oleh DR. Fathi Abu Bakr al-Maraghi)

An-Naraki senantiasa menyerukan teori ini kepada para penguasa, atas landasan dharuriyyah bukan syariyyah. Pandangan an-Naraki ini tidak mendapat dukungan yang kuat dari ulama Syiah yang lain karena dianggap akan mengeliminasi posisi imam gaib. Walhasil, selama satu setengah abad hanya sebatas teori belaka, sehingga Khumaini mampu mengaplikasikannya pasca revolusi Iran pada tahun 1979 M.

Catatan Atas Konsep Wilayatul Faqih

Syiah tidak memiliki sistem pemerintahan yang paten, karena setiap yang tidak berlandaskan dari wahyu maka akan mengalami kebuntuan.

Seluruh konsep yang ada mulai dari Imamah hingga Wilayatul Faqih dominan ijtihad tapi dalam praktiknya masuk ranah akidah yang mengikat. Sehingga menjadi senjata mematikan bagi lawan-lawan politik yang menentangnya.

Ketiadaan konsep yang jelas ini, penyebab perpecahan Syiah menjadi puluhan sekte dan aliran. Wallahu a’lam (Ahmad Robith/dakwah.id)

 

Baca juga artikel Akidah atau artikel menarik lainnya karya Ahmad Robith.

Penulis: Ahmad Robith
Editor: Sodiq Fajar

Artikel Akidah terbaru:

Topik Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *