Majelis Ramadhan #5 Adab Murid Kepada Guru dakwah id

Majelis Ramadhan #5: Adab Murid Kepada Guru

Terakhir diperbarui pada · 1,239 views

Artikel yang berjudul Adab Murid Kepada Guru ini adalah seri #5 dari serial Majelis Ramadhan.

***

 

Ilmu dalam Islam memiliki kedudukan yang tinggi dan agung. Semakin berilmu seseorang maka semakin tinggi derajatnya di hadapan Allah. Namun ada hal lain yang tidak kalah penting dari ilmu itu sendiri. Yaitu adab dan akhlak.

Jika ilmu adalah sesuatu yang mengisi akal pikiran, maka adab adalah pengisi jiwa dan penghiasnya. Inilah yang membuat para ulama memberikan porsi besar dalam urusan akhlak dan adab. Bahkan melebihi perhatian mereka kepada ilmu itu sendiri.

Seperti pengakuan Abdullah bin Mubarak rahimahullah yang berkomentar tentang pengalamannya belajar ilmu dan adab:

“Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan aku belajar ilmu selama dua puluh tahun.” (Ghayatu an-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra, Ibnu Jazari, 1/446)

Waktu yang dihabiskan para salaf terdahulu untuk melazimi adab lebih banyak daripada waktu yang mereka gunakan untuk belajar ilmu. Maka beradab didahulukan dari berillmu, seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah:

‌تَعَلَّمِ ‌الْأَدَبَ ‌قَبْلَ ‌أَنْ ‌تَتَعَلَّمَ ‌الْعِلْمَ

“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu.” (Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim al-Asbahani, 6/330)

Adab dan akhlak itu sendiri adalah hasil pengamatan seorang murid dari adab gurunya, bagaimana seorang guru menyikapi sesuatu, terkhusus dalam hal ilmu, dan bagaimana takdzim seorang guru terhadap ilmu begitu membekas pada diri seorang murid.

Sebagaimana yang diingat oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah dari adab yang telah dicontohkan gurunya, pemuka para Tabi’in Sa’id bin Musayyib rahimahullah, yang kelak adab ini juga menjadi sesuatu yang menghiasi dirinya.

Imam Malik berkisah seperti yang termaktub dalam Shifatu  ash-Shafwah:

“Suatu ketika seseorang datang menemui Sa’id bin Musayyib rahimahullah, sedangkan dia dalam keadaan sakit. Laki-laki tersebut datang dan memintanya untuk dibacakan hadits, maka Sa’id yang mulanya berbaring kemudian memaksa dirinya untuk duduk, kemudian membacakan hadits untuknya.”

“Saat ditanyakan kepadanya kenapa ia bersikeras untuk duduk ketika menyampaikan hadits, Sa’id bin Musayyib berkata, ‘Aku tidak suka menyampaikan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan aku dalam keadaan berbaring.” (Shifatu ash-Shafwah, Ibnul Jauzy, 2/437)

Selain adab terhadap ilmu, salah satu bagian terpenting dari akhlak dan adab bagi seorang penuntut ilmu adalah akhlak dan adab murid kepada guru. Menghormati dan memuliakan mereka termasuk hal yang diperintahkan dalam agama.

Karena para Ulama yang menjadi pewaris para Nabi menduduki posisi mulia dan terhormat, sehingga syariat memberikan pesan-pesan terkait wajibnya menghormati para ulama sebagai cawan-cawan yang menampung telaga ilmu yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Perintah Untuk Memuliakan Para Ulama

Islam mengatur bagaimana adab dan perilaku seseorang terhadap sesama manusia. Bagaimana sikap orang tua kepada anak-anak, bagaimana sikap anak-anak kepada yang lebih tua, dan bagaimana adab antara mereka yang sebaya.

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda terkait hal ini:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجَلِّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَناَ وَيَعْرَف لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad No. 22755 dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’).

Hadits ini mengandung perintah tentang tata krama dalam interaksi sosial di antara masyarakat. Bagaimana adab yang harus diperhatikan antara kaum tua dan kaum muda serta kepada para ulama yang berposisi sebagai sosok yang dihormati di antara manusia.

Adab itu memang perlu untuk diajarkan dan dibiasakan kepada anak-anak, itulah yang akan membuat yang muda menghormati yang tua, dan orang tua akan menyayangi yang muda. Termasuk di dalamnya diajarkan bagaimana beradab kepada para ulama.

Artikel Adab: Adab Makan Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Riwayat dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu memberika deskripsi tentang itu, ia berkata:

كُنَّا جُلُوساً فِي الْمَسْجِدِ إِذْ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ فَجَلَسَ إِلَينَا فَكَأَنَّ عَلَى رُؤُوسِنَا الطَيْرُ لَا يَتَكَلَّمَ أَحَدٌ مِنَّا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara” (HR. Al-Bukhari)

Hal serupa juga telah ditelandankan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, mufassirnya para sahabat, yang dengan penuh ketawadhuan memegang tali kekang tunggangan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ‘alimnya para sahabat.

Saat ditanyakan kenapa ia bersikap demikian, maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Demikianlah kami diperintahkan terhadap para Ulama dan pembesar kami.” (HR. Al-Hakim)

Para ulama  adalah pewaris para Nabi dan mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah tersebab ilmu dan takwa. Dan Allah Ta’ala memaklumatkan perang bagi mereka yang menyakiti para wali-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam hadits qudsi:

مَنْ عَادَى لِي وَليًّا فَقَدْ آذنتُهُ بِالحَرْبِ

“Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Al-Bukhari no. 6502)

Wali Allah yang dimaksud dalam hadis qudsi ini adalah orang-orang yang senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah. Mereka adalah para hamba yang hatinya dipenuhi iman dan takwa kepada-Nya. (Al-Wafi, Musthofa Dieb al-Bugha, 534)

Karakter para wali Allah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran:

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ، ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.  (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Sifat-sifat ini adalah karakter para ulama, Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

إِنْ لَمْ يَكن الفُقَهَاءُ العَامِلُونُ أَولِيَاءَ اللهِ فَلَيسَ للهِ وَلِيٌّ

“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali.” (diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, dinukil dari Al-Mu’lim hal. 21).

 

Adab Murid Kepada Guru

seorang murid harus melazimi adab-adab sebagai seorang murid kepada gurunya, sebagai bentuk penghormatan atas ilmu yang melekat pada sang guru.

Imam Zarnuji pernah menuliskan syair tentang guru:

Tidak ada hak yang lebih besar kecuali hak seorang guru.

Ini wajib dipelihara oleh setiap muslim.

Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar

Meski hanya satu huruf, diberi seribu dirham

Sebagai tanda hormat padanya.

Sebab guru yang mengajarimu satu huruf yang kau butuhkan dalam agama

Maka ia bapak dalam agama

(Ta’lim wal Muta’allim, Imam az-Zarnuji, 28)

Dalam risalahnya yang berjudul al-Adab Fi ad-Din, Imam al-Ghazali menyebutkan 10 adab murid kepada guru.

أَدَابُ الْمُتَعَلِّمِ مَعَ الْعَالِمِ: يَبْدَؤُهُ بِالسَّلَامِ، وَيَقِلُّ بَيْنَ يَدَيْهِ الْكَلَامَ، وَيَقُوْمُ لَهُ إِذَا قَامَ، وَلَا يَقُوْلُ لَهُ: قَالَ فُلَانٌ خِلَافَ مَا قُلْتَ، وَلَا يَسْأَلُ جَلِيْسَهُ فِي مَجْلِسِهِ، وَلَا يَبْتَسِمُ عِنْدَ مُخَاطَبَتِهِ، وَلَا يُشِيْرُ عَلَيْهِ بِخِلَافِ رَأْيِهِ، وَلَا يَأُخُذُ بِثَوْبِهِ إِذَا قَامَ، وَلَا يَسْتَفْهِمُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ فِي طَرِيْقِهِ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى مَنْزِلِهِ، وَلَا يُكْثِرُ عَلَيْهِ عِنْدَ مَلَلِهِ.

“Adab murid terhadap guru, yakni: mendahului memberi salam, tidak banyak berbicara di depan guru, berdiri ketika guru berdiri, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda”, tidak bertanya-tanya (ngobrol) kepada teman duduknya ketika guru di dalam majelis, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah.” (Al-Adab fid Din Fi Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, Imam al-Ghazali, 431)

Imam az-Zarnuji dalam Ta’lim wal Muta’llim (29-32) juga menyebutkan sekian adab yang harus dilazimi seorang murid kepada gurunya, diantaranya:

Menghormati guru dengan bentuk penghormatan adalah; hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan tidak memulai bicara kecuali dengan izinnya.

Termasuk juga bagian menghormati guru adalah tidak banyak bicara di hadapannya, tidak bertanya jika guru terlihat sedang lelah, dan tidak mengetuk pintu rumahnya dan lebih baik menunggu hingga ia keluar.

Inilah adab-adab terhadap guru yang harus dilazimi oleh seorang murid ketika menuntut ilmu. Adab-adab tersebut adalah sebab berkahnya ilmu yang didapatkan seorang murid dalam belajarnya.

Maka tidak ada keberkahan yang didapat seorang murid yang menyebabkan gurunya sakit hati dan tidak ridha dari sikap yang ia tunjukkan. Wallahu a’lam (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

 

Baca juga artikel ADAB atau artikel menarik lainnya karya Ustadz Fajar Jaganegara.

 

Penulis: Ustadz Fajar Jaganegara
Editor: Sodiq Fajar

 

 

Artikel serial Majelis Ramadhan sebelumnya:
Majelis Ramadhan #4: 9 Adab Majelis Ilmu

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

1 Tanggapan

Tolong bisa kan wa gb saya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *