Majelis Ramadhan #3 Ilmu Adalah Rasa Takut dakwah id

Majelis Ramadhan #3: Ilmu Adalah Rasa Takut

Terakhir diperbarui pada · 1,172 views

Artikel yang berjudul Ilmu Adalah Rasa Takut ini adalah seri #3 dari serial Majelis Ramadhan.

***

 

Definisi ilmu secara bahasa adalah lawan dari kata bodoh atau al-Jahl. Sedangkan secara istilah ilmu berarti mengetahui sesuatu sampai hakikatnya sehingga menghadirkan keyakinan dalam diri. (Lihat: Lisan al-Arab, Ibnu Madzur, 1/870)

Definisi yang diberikan Ibnu Mandzur rahimahullah tentang ilmu berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki seseorang, yang mana ia menguasainya dengan baik, sehingga dengan ilmu tersebut melahirkan keyakinan dalam dirinya ketika akan mengucapkan atau melakukan sesuatu.

Lantas apakah seorang ‘alim itu hanya diukur dari kuantitas pengetahuan yang memenuhi ruang akalnya saja, dan apakah cukup seseorang disebut sebagai ulama ketika mampu menguasai berbagai disiplin keilmuan dalam dirinya?

Apakah seseorang dengan pengetahuan yang terbatas tentang al-Quran dan sunnah-sunnah Nabi shalallahu alaihi wa salam tidak dapat dikategorikan sebagai ulama. Ataukah justru seorang ulama itu memang harus hafal al-Quran, hafal ribuan hadist, menguasai sekian ilmu penunjang dan ilmu alat?

 

Rasa Takut Kepada Allah, Itulah Ilmu

Pertanyaan tentang siapa hakikatnya orang yang berilmu dan siapakah mereka, dijawab oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Lewat ayat ini Allah Ta’ala seakan-akan ingin membatasi bahwa orang-orang yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, karena hanya para ulama yang dengan ilmu mereka mengerti apa yang menjadi hak-hak Allah dan larangannya, sehingga itu membuat mereka memiliki sifat takut (khasyah) melebihi manusia lainnya.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al- ‘Adzhim, Ibnu Katsir, 11/320).

Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa rasa takut diukur dengan seberapa jauh kita mengenali sosok yang ditakuti. Dan seorang ‘alim yang mengenal Allah, maka ia takut dan berharap kepada-Nya. Dan ayat ini, menurut beliau, adalah dalil akan keutamaan seorang ‘alim atas ‘Abid. (Lihat: Mafatih al-Ghaib, Fakhruddin ar-Razi, 26/21)

Baca juga: ZALLATUL ‘ALIM: Menyikapi Ketergelinciran Pendapat Ulama

Penjelasan tentang hakikat seorang ‘alim adalah mereka yang paling takut kepada Allah telah dipaparkan para ulama generasi awal. Bahwa yang disebut dengan ulama adalah mereka yang takut kepada Allah. Ukurannya adalah rasa takut. Takwa. Bukan banyaknya riwayat yang mereka miliki ataupun sejenisnya.

Imam Masruq rahimahullah berkomentar tentang  ini, bahwa ilmu itu adalah apa yang menjadikan pemiliknya semakin takut kepada Allah Ta’ala, beliau menjadikan indikator seseorang itu jahil atau ‘alim dengan ukuran takwanya kepada Allah subhanahu wata’ala.

Masruq berkata,

كَفَى بِخَشْيَةِ اللهِ عِلْمًا وَكَفَى بِالْاِغْتِرارِ باِللهِ جَهْلاً

Cukuplah seseorang dikatakan berilmu dengan rasa takutnya kepada Allah, dan cukup seseorang dikatakan jahil (bodoh) jika ia terbuai dengan karunia Allah subhanahu wataala.”

Penafsiran senada juga disebutkan Imam asy-Sya’bi rahimahullah:

إِنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ خَشِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ.

Sesungguhnya yang disebut ‘alim (orang berilmu) adalah yang takut kepada Allah.” (Lihat: Maalim at-Tanzil, Imam al-Baghawi, 6/419)

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Ilmu adalah sesuatu yang dapat menimbulkan perasaan takut kepada Allah Taala.” (Al-Amru bi al-Ittiba’, Jalaluddin as-Suyuti, 309)

Lebih lanjut, bahkan Imam Malik rahimahullah menyebutkan, bahwa mereka yang memiliki periwayatan (hadis) yang banyak, belum tentu masuk dalam kategori ulama.

Imam Malik rahimahullah berkata,

إِنَّمَا الْعِلْمُ لَيْسَ بِكَثْرَةِ الْرِوايَةِ وَلَكَنَّهُ نُوْرٌ يَجْعَلُهُ اللهُ فِي الْقُلُوبِ

Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat (yang dihafal), namun ilmu itu adalah cahaya, yaitu cahaya yang Allah tempatkan di dalam hati.” (Jami al-Bayan al-Ilmi wa Fadhlihi, Imam al-Qurthubi, 1/758)

 

Korelasi Rasa Takut dengan Ilmu

Para Ulama berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Fathir ayat 28 menjadikan sifat rasa takut kepada Allah sebagai alat ukur seseorang layak disebut sebagai Ulama. Maka sebanyak apapun seseorang menghafal al-Quran dan hadist-hadist Nabi, akan tetapi dalam hatinya tidak tumbuh rasa takut, dan ilmunya tidak melahirkan amal, maka yang demikian tidak layak disebut sebagai ulama.

Sebagai sebuah ilustrasi sederhana, manusia takut terhadap Api disebabkan ilmu dan pengetahuan manusia akan hakikat dan sifat yang dimiliki Api itu sendiri. Manusia tidak berani menyentuh Api, karena sifatnya yang panas, dan bisa membakar.

Manusia tidak berani membiarkan Api hidup di tengah padang rumput kering di musim kemarau, karena mereka tahu bahwa jika Api itu dibiarkan, maka akan menghanguskan rerumputan dan menyebabkan kebakaran hutan.

Manusia tidak akan berani memasuki rumah yang tengah terbakar Api, karena ia tahu, jika ia masuk ke dalamnya, berarti ia menyiapkan diri untuk ikut terbakar di dalamnya.

Begitu juga seseorang yang takut kepada Allah. Rasa takut dalam diri mereka lahir dan muncul disebabkan ilmu mereka tentang Allah; tentang kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, tentang karunia-Nya yang agung dan besar, tentang kebesaran-Nya yang tidak ada yang mampu menyamainya.

Ilmu seseorang tentang Allah Ta’ala menjadikan ia tunduk dan patuh kepada segala perintah-Nya, karena ia tahu, melanggar perintah-Nya akan mengungang azab dan murka dari-Nya. Dan seseorang yang mengetahui akan janji Surga-Nya tidak akan menunggu kata ‘nanti’ saat diperintah oleh-Nya, karena dengan menaatinya akan mendapatkan rahmat serta ridha-Nya.

Inilah sebabnya Allah Ta’ala mendahulukan kata Allah yang menjadi objek dalam ayat 28 surat Fathir dan mengakhirkan kata ulama sebagai subjek. Hal ini bukan tanpa maksud, karena Allah ingin memberikan satu makna, bahwa cukuplah setiap yang takut kepada-Nya disebut sebagai orang yang ‘alim. (Lihat: Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil, Abdullah bin Umar al-Baidhawi, 5/43)

Artikel Adab: Penyakit Riya’ Sering Menjangkiti Para Da’i. Begini Cara Mengobatinya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyimpulkan, ini menunjukkan bahwa setiap yang takut kepada Allah maka dialah orang yang ‘alim, dan ini adalah haq. Dan bukan sebaliknya, tidak setiap yang ‘alim akan takut kepada Allah subhanahu wata’ala.” (Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 7/539)

Imam Ibnu Katsir menukil perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah tentang jenis-jenis orang berilmu menjadi tiga kategori,

الْعُلَمَاءُ ثَلَاثَةٌ: عَالِمٌ بِاللَّهِ وَعَالَمٌ بِأَمْرِ اللَّهِ. عَالِمٌ بِاللَّهِ وَلَيْسَ عَالِمًا بِأَمْرِ اللَّهِ، عَالَمٌ بِأَمْرِ اللَّهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللَّهِ، فَأَمَّا الْعَالِمُ بِاللَّهِ، وَبِأَمْرِ اللَّهِ، فَالَّذِي يَخْشَى اللَّهَ، وَيَعْلَمُ الْحُدُودَ، وَالْفَرَائِضَ، وَأَمَّا الْعَالِمُ بِاللَّهِ، وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللَّهِ، فَالَّذِي يَخْشَى اللَّهَ وَلَا يَعْلَمُ الْحُدُودَ وَالْفَرَائِضَ، وَأَمَّا الْعَالِمُ بِأَمْرِ اللَّهِ، وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللَّهِ، فَالَّذِي يَعْلَمُ الْحُدُودَ وَالْفَرَائِضَ وَلَا يَخْشَى اللَّهَ.

Ulama ada tiga:

Pertama, Seorang yang ‘alim tentang Allah dan ‘alim tentang perintah Allah. Yaitu, dialah orang yang takut kepada Allah Ta’ala dan mengetahui batasan dalam agama serta hal-hal yang difardukan oleh agama.

Kedua, Orang yang ‘alim tentang Allah, tapi tidak ‘alim tentang perintah Allah. Yaitu, dia yang takut kepada Allah Ta’ala tapi tidak mengetahui batasan agama serta hal-hal yang difardukan oleh agama.

Ketiga, orang yang ‘alim tentang perintah Allah, tapi tidak ‘alim tentang Allah. Dia adalah orang yang mengetahui batasan-batasan dan hal-hal yang difardukan oleh agama akan tetapi sama sekali tidak takut kepada Allah. (Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir, 11/320)

Dari tiga kategori ini, Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah menyebutkan bahwa yang disebut Ulama yang sesungguhnya adalah mereka yang dengan ilmunya mampu mengenal Allah berikut perintah dan larangannya.

Untuk kemudian, ilmu tersebut melahirkan amal-amal yang mendatangkan ridha-Nya dan menjauhi perbuatan yang mengundang murka-Nya.

Adapun kategori kedua, disebutkan bahwa ia takut kepada Alllah, akan tetapi rasa takutnya tidak berdasarkan ilmunya tentang batasan dan larangan Allah. Ia menyebut dirinya takut kepada Allah, tapi justru melanggar perintah Allah dan batasan-Nya.

Baca juga: Ilmu Islam itu Sangat Luas, Ini yang Fardhu ‘Ain untuk Dipelajari

Maka ilmu dan rasa takut berjalan beriring dan seiring. Tidak dipisahkan. Karena betapa banyak orang yang dianggap sebagai orang berilmu dengan gelar akademisi mentereng; Professor, Doktor dan sebagainya. Tapi mereka pada hakikatnya tidak disebut sebagai Ulama, karena tidak adanya rasa takut kepada Allah dalam diri mereka.

Boleh jadi, seorang kiyai kampung yang hanya lulusan pesantren biasa, mengajarkan baca al-Quran di tengah umat, mengajarkan mereka tata cara ibadah yang benar, merekalah yang masuk kategoti Ulama. Disebabkan ilmu, amal dan rasa takut mereka terhadap Allah ada dalam jiwa dan tampak dalam perbuatan.

Semakin berilmu seseorang maka harus semakin takwa kepada Allah. Itulah hakikat ilmu sejati.

Syaikh as-Sa’di berkata,

Setiap orang yang pengetahuannya kepada Allah sangat mendalam, maka dialah orang yang banyak takut kepada Allah. Maka rasa takutnya kepada Allah mewajibkan dia menghindari perilaku maksiat dan selalu bersiap diri menjumpai yang ia takuti. Ini merupakan bukti dari keutamaan ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu menuntun untuk takut kepada Allah, dan orang yang biasa takut kepada Allah maka dia layak mendapat karomah-Nya, sebagaimana firman Allah Taala,

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Rabb-Nya.”  (QS. Al-Bayyinah: 8) (Taisir Karim ar-Rahman, Abdurrahman as-Sa’di, 810)

Wallahu Alam. (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

 

Baca juga artikel ADAB atau artikel menarik lainnya karya Ustadz Fajar Jaganegara.

 

Penulis: Ustadz Fajar Jaganegara
Editor: Sodiq Fajar

 

Langganan artikel serial Majelis Ramadhan

DAFTAR

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *