Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat Ulama-dakwah.id

Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat Ulama?

Terakhir diperbarui pada · 2,995 views

Dalam khazanah kajian fikih Islam pun demikian, perbedaan pendapat ulama adalah hal yang tidak terelakkan. Bahkan, justru hal tersebut yang menambah kekayaan literasi dan pemikiran umat Islam dalam bidang kajian ini.

Dalam ribuan tahun perjalanan kajian fikih, akan kita dapati banyak sekali perbedaan pendapat yang terjadi di antara para Ulama. Bahkan hal itu sudah dimulai sejak era sahabat, tabi’in, generasi setelah mereka, sampai dengan hari ini. Dan hal tersebut telah Allah isyaratkan dalam al-Quran. Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Ayat ini menunjukkan satu isyarat bahwa akan selalu ada perbedaan pendapat di antara manusia, baik perbedaan pendapat di dalam ranah ushul maupun ranah furu’. Maka terdapat perintah untuk kembali kepada kitabullah dan sunah-sunah Nabi Muhammad shalallahu ‘alahi wa salam. (Taisir Kalim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Abdurrahman as-Sa’di, 184)

 

Artikel Fikih Ikhtilaf: Imam Mazhab Mengimbau Umat Untuk Meninggalkan Pendapat yang Menyelisihi Sunnah

 

Allah bisa saja menjadikan manusia itu satu tanpa ada perbedaan. Allah menjadikan manusia berbeda-beda bukan tanpa tujuan. Akan tetapi, sebagai ujian untuk berlomba dalam kebaikan. Allah berfirman:

وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.(QS. Al-Maidah: 48)

 

Perbedaan Pendapat Ulama Adalah Rahmat bagi Umat

Perbedaan pendapat ulama, khususnya dalam permasalahan-permasalahan fikih adalah anugerah dan rahmat bagi umat. Karena hal tersebut memberikan banyak ruang keringanan dalam pelaksanaan ibadah dan muamalah mereka.

Para ulama berijtihad dengan penuh kesungguhan demi meraih lalu memegang erat pendapat-pendapat yang mendekati kebenaran. Upaya yang mereka tempuh ini adalah wujud amanah mereka sebagai orang-orang yang telah Allah anugerahi dengan ilmu, untuk bersungguh-sungguh menghantarkan umat pada kebenaran. Maka perbedaan mereka adalah rahmat bagi umat. (Rahmatu al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah, Muhammad bin Abdurrahman al-Utsmani, 3)

Contoh perbedaan pendapat dalam Islam, seperti perbedaan pendapat ulama dalam soal  menyentuh wanita ajnabi (asing) sebagai salah satu pembatal wudhu.  Para ulama berbeda pendapat dalam soal ini dalam tiga pendapat.

 

Artikel Fikih Ikhtilaf: Fenomena Perbedaan Fatwa di Kalangan Para Ulama Fikih

 

Menurut mazhab Hanafi, menyentuh wanita yang dapat membatalkan wudhu adalah berjima’ (bersetubuh). Di mana dua kemaluan bertemu. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hambali, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu selama tidak disertai adanya syahwat.

Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, bersentuhan dengan wanita ajnabi yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu.  Adapun salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya perbedaan dalam penafsiran dari ayat 43 surat an-Nisa:

أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ

“Atau kamu telah menyentuh perempuan”

Menurut ulama Hanafiyah maksud dari kata menyentuh dalam ayat ini adalah jima’ (bersetubuh), karena ungkapan dalam ayat ini adalah ungkapan majazi (kiasan). Sedangkan Ulama kalangan Syafi’iyyah memaknai kata menyentuh dalam ayat ini sebagai ungkapan hakiki; yaitu bersentuhan kulit dan bukan jima’. (Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Wahbah Zuhaili, 1/356-360)

Jika dilihat sekilas, perbedaan pendapat ini ringan saja. Tapi coba banyangkan, jika tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, di mana kaum muslimin harus memegang satu pendapat saja; bahwa bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu.

Maka akan terjadi kesulitan dalam beberapa keadaan, seperti saat melaksanakan ibadah di masjidil haram, di mana ada ratusan ribu jamaah berkumpul, terlebih pada musim haji yang jumlahnya mencapai angka jutaan.

Masjid tidak pernah sepi dari jamaah, laki-laki dan perempuan tumpah ruah memenuhi sekeliling Kakbah. Sebagian melakukan Thawaf, sebagian mengerjakan shalat Sunnah, dan sebagian lainnya sibuk dengan ibadah masing-masing.

 

Artikel Fikih Ikhtilaf: Sikap Muslim Awam ketika Mendapati Keragaman Fatwa Ulama

 

Maka bersentuhan pada saat itu tidak terelakkan lagi. Dan betapa repot dan sulitnya untuk menghindari senggolan dan sentuhan antara lawan jenis dalam keadaan demikian, demi terhindar dari batalnya wudhu.

Maka di sini kita dapat melihat, bahwa ada pendapat ulama lain sebagai pilihan dan keringanan. Sehingga kesempitan itu menjadi lapang dan umat menjadi mudah dalam melaksanakan ibadah. Inilah perbedaan pendapat ulama yang menjadi rahmat bagi umat.

 

Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Ulama

Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama bukan tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya perbedaan. Namun faktor-faktor tersebut mengerucut pada tiga faktor utama:

 

Pertama, pemahaman bahasa (linguistik) yang berbeda

Sumber utama kajian fikih adalah al-Quran dan hadis-hadits Nabi, yang tentunya berbahasa Arab. Maka memahami seluk-beluk bahasa Arab mutlak dimiliki seorang ulama untuk berinteraksi dengan nash, guna memahami maksud yang terkandung di dalamnya.

Akan tetapi, setiap ulama memiliki kemampuan linguistik yang berbeda-beda. Maka dalam memahami nash (al-Quran dan hadits) pastilah menghasilkan pemahaman dan kesimpulan yang juga berbeda. Seperti contoh yang telah disebutkan di atas, dalam kasus menafsirkan ayat 43 dari surat an-Nisa.

Contoh lain perbedaan pendapat ulama karena faktor pemahaman bahasa yang berbeda, seperti memahami arti kata quru’ dalam surat al-Baqarah ayat 228.

Allah berfirman:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓء

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata quru’ pada ayat ini artinya tiga kali suci. Sedangkan sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah tiga kali haid. (Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Ibnu Katsir, 2/335-337)

 

Materi Khutbah Jumat: Ulama Pewaris Nabi & Ulama Pewaris Nafsu

 

Kedua, penilaian terhadap status hadits

Hadits sebagai sumber pengambilan hukum juga menyebabkan perbedaan pendapat para ulama fikih. Tepatnya, penilaian terhadap status sebuah hadits menyebabkan hasil kesimpulan hukum yang berbeda.

Pada masa dahulu, terkadang sebuah hadits telah sampai pada ulama tertentu, namun tidak didapatkan oleh ulama lainnya. Dalam kasus lain, terkadang sebuah hadits dinilai sebagai hadits yang diterima karena telah sesuai syarat-syaratnya sebagai  hujjah.

Namun dalam pendapat ulama lain, boleh jadi hadits tersebut tertolak karena adanya cacat pada matan atau sanad periwayatannya. Maka ada hadits yang diterima oleh sebagian ulama tapi ditolak oleh ulama lainnya, begitu pula sebaliknya.

Contoh perbedaan pendapat ulama karena faktor perbedaan penilaian terhadap status hadits, seperti dalam persoalan qunut subuh.

Menurut ulama kalangan Hanafiyah, qunut hanya ada pada shalat witir, dan menurut mereka riwayat-riwayat qunut dalam shalat subuh telah dihapus (mansukh).

 

Artikel Sejarah: Jihad Literasi Ulama Nusantara dalam Melawan Penjajah

 

Menurut mazhab Malikiyah dan Syafi’iyyah, membaca doa qunut ketika shalat subuh adalah sunnah, mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, yang menyatakan bahwa Rasulullah selalu melakukan qunut hingga meninggal dunia.

Sedangkan menurut mazhab Hambali, mereka berpendapat bahwa qunut hanya boleh dilaksanakan dalam shalat witir, sedangkan qunut dalam shalat subuh tidak disunahkan. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Lahi’ah, bahwa Nabi pernah melakukan qunut kemudian meninggalkannya. (Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili, 2/161-166)

 

Ketiga, perbedaan metode ijtihad

Setiap mazhab memiliki usul mazhab dan metode ijtihad yang berbeda dalam menyimpulkan hukum-hukum fikih. Sehingga produk hukum yang dihasilkan juga berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Memang keempat mazhab; Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat akan empat sumber ijtihad; al-Quran, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. (Ma’alim Usul al-Fiqh, Muhammad bin Husain al-Jizani, 103)

Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam kaidah-kaidah usul yang lain. Seperti contoh, dalam mazhab Hanafi yang menggunakan istihsan dalam usul mazhab mereka, sedangkan itu tidak digunakan dalam mazhab Syafi’i.

 

Artikel Pemikiran Islam: Identitas Sebuah Agama dan Wacana Pluralisme dalam Toleransi

 

Dalam mazhab Maliki, amal penduduk madinah bisa menjadi dalil yang diterima sebagai hujjah, sedangkan menurut mazhab yang lain tidak.

Inilah yang membuat produk hukum serta konklusi dari ijtihad masing-masing mazhab berbeda. Pada satu kesempatan mereka bisa bersepakat, namun dalam kesempatan lain, justru perbedaan pendapat tidak bisa dihindarkan.

 

Bagaimana Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama?

Jika kita memahami bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama telah terjadi sejak dahulu, dan bahwa perbedaan di antara mereka adalah rahmat bagi umat, maka bersikap adil adalah mutlak diperlukan dalam mendudukkan setiap perbedaan.

Sikap inshaf (pertengahan) dan lapang dada harus dikedepankan dan menjadi akhlak dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama. Karena jika tidak demikian, akan menimbulkan kerusakan yang membawa pada perpecahan di tengah umat.

 

Artikel Fikih Ikhtilaf: ZALLATUL ‘ALIM: Menyikapi Ketergelinciran Pendapat Ulama

 

Imam as-Suyuti menjelaskan dalam mukadimah kitabnya Jazil al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Mazahib, “Maka salah satu sebab perpecahan di tengah umat adalah; ketidakpamahan atas perbedaan pendapat di antara ulama. Serta ketidaktahuan atas sebab-sebab terjadinya perbedaan tersebut.”

Adanya mazhab-mazhab ini (berikut perbedaan pendapat mereka) bukan untuk membawa pada perpecahan, namun justru mereka adalah madrasah-madarsah pemikiran yang menjelaskan dan memberi pemahaman akan syariat.” ( Jazil al-Mawahib fi Ikhtilaf al-Mazahib, Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, 7)

Semoga Allah selalu jaga persatuan kaum muslimin dalam nuansa keragaman pilihan atas perbedaan pendapat ulama, dan menjauhkan mereka dari makar musuh- musuh Islam yang ingin merusak persatuan. (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *