Jual Beli Gharar itu Apakah Semua Dilarang

Jual Beli Gharar itu Apakah Semua Dilarang dalam Islam?

Terakhir diperbarui pada · 11,829 views

Gharar atau al-gharar secara bahasa berarti al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Adapun secara istilah, jual beli gharar adalah jual beli atau akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi harga, kualitas, kuantitas, maupun keberadaannya.

Al-Khattabi menjelaskan dalam Ma’alim as-Sunan (3/672), “Asal gharar adalah segala sesuatu yang anda tidak mengetahuinya, dan tersembunyi rahasianya, maka setiap jual beli yang tujuannya masih samar-samar dan belum diketahui serta tidak bisa diserahterimakan barangnya maka termasuk jual beli gharar.”

Ada tiga macam bentuk jual beli gharar:

Pertama: Jual beli gharar yang dilarang

Bentuk pertama ini terdiri dari tiga macam, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Fatawa al-Kubra (4/18), yaitu:

(1) Jual beli yang tidak ada barangnya, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan dan susunya.

(2) Jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan, seperti budak yang lari dari tuannya.

(3) Jual beli barang yang tidak diketahui hakikatnya sama sekali atau bisa diketahui tapi tidak jelas jenisnya atau kadarnya. (Adil al-‘Azzazi dalam Tamam al-Minnah (3/305) juga menyebutkan hal yang sama).

Baca juga: Transaksi Jual Beli: Definisi, Hikmah, Rukun, Syarat 

Berikut ini rincian dari tiga macam jual beli gharar yang dilarang:

  1. Gharar karena barangnya belum ada (Al-Ma’dum)

Contoh dari jual beli Al-Ma’dum adalah sebagaimana yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa ia berkata,

Nabi shalallahu alaihi wasallam melarang menjual anak dari anak yang berada dalam perut unta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

  1. Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan (Al-Ma’juz ‘an Taslimihi).

Seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, ikan di laut, mobil yang dicuri, serta barang yang masih dalam pengiriman.

  1. Gharar karena ketidakjelasan (Al-Jahalah) pada barang, harga dan akad jual belinya.

Contoh ketidakjelasan pada barang yang akan dibeli adalah sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah bahwa ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah melarang jual beli al-hashah (dengan melempar batu) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim).

Contoh jual beli al-hashah adalah ketika seseorang ingin membeli tanah, maka penjual mengatakan, “Lemparlah kerikil ini, sejauh engkau melempar, maka itu adalah tanah milikmu dengan harga sekian.”

Termasuk dalam kategori ini adalah Asuransi Konvesional, karena di dalamnya ada ketidakjelasan tentang keuntungan yang akan diterima keduabelah pihak, baik perusahaan asuransi  maupun konsumen.

Baca juga: Diskon Riba pada Jual Beli Rumah 

Kedua: Jual beli gharar yang diperbolehkan

Jual beli gharar yang diperbolehkan ada empat macam:

(1) jika barang tersebut sebagai pelengkap, atau

(2) jika ghararnya sedikit, atau

(3) masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang remeh,

(4) mereka memang membutuhkan transaksi tersebut.

Imam an-Nawawi menjelaskan hal tersebut di dalam Syarh Shahih Muslim (5/144):

“Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat). Seperti seseorang tidak mengetahui kualitas pondasi rumah (yang dibelinya) begitu juga tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang sedang hamil.

Ibnu Qayim di dalam Zadu al-Ma’ad (5/727) mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli.” (Lihat juga Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra: 4/18)

Baca juga: Anak di Bawah Umur Bertransaksi Jual Beli, Apakah Sah? 

Ketiga: gharar yang masih diperselisihkan

Gharar yang masih diperselisihkan adalah gharar yang berada di tengah-tengah antara yang diharamkan dan yang dibolehkan, sehingga para ulama berselisih pendapat didalamnya. Hal ini dikarenakan  perbedaan mereka di dalam menentukan apakah gharar tersebut sedikit atau banyak, apakah dibutuhkan masyarakat atau tidak, apakah sebagai pelengkap atau barang inti.

Contoh gharar dalam bentuk ketiga ini adalah menjual wortel, kacang tanah, bawang, kentang dan yang sejenis yang masih berada di dalam tanah. Sebagian ulama tidak membolehkannya seperti Imam Syafi’i, tetapi sebagian yang lain membolehkannya seperti Imam Malik serta Ibnu Taimiyah (Majmu Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 29/33), Zad al-Ma’ad, Ibnu Qayyim, 5/728)

Penulis cenderung mendukung pendapat yang membolehkan tetapi dengan syarat bahwa penjual dan pembeli sama-sama mempunyai ilmu tentang barang-barang yang dijual tersebut, seperti apabila keduanya adalah petani yang mengetahui kualitas wortel, bawang, kentang yang berada dalam tanah dengan melihat kualitas daunnya atau batangnya ataukah dengan cara yang lain. Wallahu a’lam. (DR. Zain an-Najah, Majalah Ar-Risalah ed. 152/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

1 Tanggapan

assalamu’alaikum..sy mau tanya..jika sy menjualkan brg teman lewat foto yg sy share di medsos..brg itu dri tmn sy harganya misal 10rb..nah di medsos sy iklankan dgn harga 15rb misal..ternyata ada pembeli yg trtarik dgn foto yg sy tawarkan lewat medsos..setelah keep,sy byr dlu brgnya kpd si penjual,stlh brg itu ada ditangan sy,baru si pembeli transfer dgn harga 15rb,sesuai dgn harga yg sy tawarkan..
nah,yg sy tanyakan wktu brg blm ada ditangan sy,dan sy tawarkan dgn harga 15rb itu hukumnya bagaimana ya?masalah nya brg itu made by order..jika ada yg pesan,baru dibuatkan begitu..mohon penjelasannya..terimakasih..
wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barokatuh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *