Ngaji Fikih #46 6 Syarat Istinja Menggunakan Batu dakwah.id.jpg

Ngaji Fikih #46: 6 Syarat Istinja Menggunakan Batu

Terakhir diperbarui pada · 782 views

Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Cara Mandi dan Tayamum Jika Tubuh Terluka Parah. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah 6 Syarat Istinja Menggunakan Batu.

Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:

Apa yang dimaksud dengan istinja?

Kata istinja’ secara bahasa artinya memutus atau memotong. Sedangkan secara syar’i, istinja’ adalah menghilangkan najis yang keluar dari farji atau najis yang ada pada farji, baik menggunakan air atau menggunakan batu.

Kata istinja’ dalam bahasa Arab telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi istinja yang menurut KBBI (V) adalah: membersihkan dubur atau kemaluan setelah buang air besar maupun kecil.

Allah mensyariatkan istinja bersamaan dengan syariat wudhu, yaitu disyariatkan pada malam Isra Nabi. Sekalipun ada yang berpendapat, istinja disyariatkan pada awal-awal Rasulullah diangkat sebagai Nabi.

Istinja dilakukan setelah apa? Istinja dilakukan setelah seseorang selesai buang hajat, baik besar maupun kecil.

Kewajiban istinja ini disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهُنَّ تُجْزِئُ عَنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian pergi (untuk) buang hajat, maka bawalah tiga buah batu dan beristinjalah dengannya, karena itu telah mencukupinya.” (HR. Ahmad no. 24491; HR. An-Nasa’I no. 44)

Artikel adab: Akhlak Nubuwah #2 Berpenampilan Rapi dan Bersih

Dalam salah satu riwayat Mutafaqun ‘Alaihi juga dikisahkan, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam kamar mandi, lalu Anas membawakan air dalam kantong kulit dan Rasulullah beristinja dengannya.

Empat Hukum Istinja

Namun demikian, para ulama mazhab Syafii menyebutkan beberapa hukum istinja. Adakala hukumnya menjadi wajib, mandub (sunah), makruh, bahkan adakala hukumnya menjadi haram. 

Kapan istinja itu diwajibkan? Hukum istinja adalah wajib pada semua najis yang keluar dari tubuh, contohnya: kencing, kotoran, mazi, wadi, dan darah.

Disebutkan dalam kitab al-Bayan wa at-Ta’rif, istinja hukumnya wajib pada semua najis yang keluar dari tubuh yang bertekstur lembek dan dapat mengotori bagian-bagian di sekitarnya. Sedangkan najis yang bertekstur keras, maka istinja hukumnya berubah menjadi sunah.

Kapan istinja dimakruhkan? Yaitu beristinja hanya karena keluar angin kentut. Karena angin kentutnya tidak najis, sekalipun orang yang buang angin dihukumi sebagai orang yang berhadats kecil.

Dan kapan istinja itu diharamkan? Hukum istinja adalah haram jika dilakukan dengan menggunakan sarana benda-benda yang dimuliakan, atau dikhususkan.

Seperti, beristinja dengan kertas yang tertulis kalimat-kalimat dzikir atau tertulis ilmu yang bermanfaat, beristinja dengan makanan, dan lain sebagainya.

Istinja menggunakan apa saja?

Alat yang dapat digunakan untuk istinja adalah air dan batu.

Air yang dapat digunakan untuk istinja adalah air yang mutlak sehingga air tersebut suci dan menyucikan. Tidak sembarang air dapat digunakan, apalagi air yang najis atau air yang tidak dapat menyucikan.

Artikel Fikih: Klasifikasi Air Berdasarkan Hukum Kesuciannya

Disunahkan beristinja dengan kedua alat tersebut secara bergantian, pertama dengan batu dan kemudian dengan air. Sekalipun boleh memilih salah satunya saja.

Jika seseorang memilih untuk menggunakan salah satunya saja, maka istinja menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu.

Beristinja dengan air kaidahnya sama dengan menghilangkan najis pada tubuh, yaitu sampai kotoran atau najis itu benar-benar hilang dan bersih.

Syarat Istinja Menggunakan Batu

Adapun beristinja dengan batu memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Berikut enam syarat istinja menggunakan batu.

  1. Kotoran atau najis yang ingin dibersihkan belum kering, jika sudah mengering maka harus dibersihkan dengan air.
  2. Kotoran tidak tercecer di anggota tubuh yang lain. Kotoran yang dapat dibersihkan dengan batu adalah yang mengotori lubang dubur dan qubul saja. Jika kotoran mengenai anggota tubuh selain dua lubang tersebut, maka harus dibersihkan dengan air.
  3. Kotoran atau najis yang dapat dibersihkan dengan batu adalah kotoran yang belum tercampur dengan yang lain, kecuali tercampur keringat. Misalnya kotoran tercampur dengan darah maka harus dibersihkan dengan air, atau darah tercampur dengan nanah maka harus dibersihkan dengan air.
  4. Memastikan bahwa usaha istinja dengan batu harus benar-benar membersihkan bagian atau lubang kotoran. Jika tidak, maka harus dibersihkan dengan air. Sehingga seseorang harus memilih batu yang dapat membersihkan kotoran atau najis, bukan sembarang batu.
  5. Hendaknya menggunakan tiga batu atau lebih yang dapat membersihkan tempat kotoran atau najis. Boleh menggunakan satu batu asalkan memiliki tiga sisi atau lebih. Jika ternyata memerlukan lebih dari satu batu, maka disunahkan untuk menambah jumlah batu dengan bilangan ganjil, semisal lima atau tujuh.
  6. Batu yang digunakan untuk istinja harus suci, tidak boleh batu yang najis.

Adab dalam Beristinja

Setelah tahu enam syarat istinja di atas, seseorang juga harus tahu adab-adab dalam beristinja.

Di antara adab-adab beristinja adalah:

  1. tidak menyentuh kemaluan dengan tangan kanannya;
  2. tidak cebok dengan batu yang berjumlah kurang dari tiga atau kurang dari tiga usapan;
  3. tidak beristinja dengan benda-benda yang dimuliakan—sebagaimana yang telah disinggung di atas, dan
  4. tidak menghadap kiblat atau membelakanginya. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)

Daftar Pustaka:
Al-Bayan Wa At-ta’rif bi Ma’ani Masa’ili wa Ahkam Al-Mukhtashar Al-Lathif, Syaikh Ahmad Yunus An-Nishf, hal. 92-94, cet. 2/2014 M, Dar Adh-Dhiya’ Kuwait.
Al-Wajiz fi Al-Fiqhi Al-Islami, Wahbah Az-Zuhaili, 1/52, cet. 2005 M, Dar Al-Fikir Damaskus, dengan perubahan dan tambahan.
Al-Imta’ bi Syarhi Matan Abi Syuja’, Hisyam Al-Kamil Hamid, 34-35, Dar Al-Manar, cet. 1/2011.

Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.

Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith

Artikel Ngaji Fikih Terbaru:

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

1 Tanggapan

Mantaap materinya semoha bwrmanfaat bagi kita dan menjadikan amal. Sehingga dapay ditularkan pada. yg lain. terimakasih Ustadz

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *