Cara membagi warisan kepada dzawil arham dakwah.id

Cara Membagi Warisan Kepada Dzawil Arham

Terakhir diperbarui pada · 2,677 views

Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul Cara Membagi Warisan Kepada Dzawil Arham ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus magister Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.

Pertanyaan:

Mau tanya tentang ilmu waris, cara penghitungan dzawil arham yang mudah itu seperti apa, ya?

Afnan-Sukoharjo

Jawaban:

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ الْأَمِيْنِ

Dalam membahas perihal fikih mawaris tentu tidak terlepas dengan istilah yang disebut dengan ‘dzawil arham’. Istilah ini biasa dipakai oleh para ulama untuk menyebutkan kerabat-kerabat mayit yang mereka tidak termasuk ashabul furudh (yang memiliki bagian warisan tertentu) ataupun ashabah (yang memiliki bagian sisa).

Artinya bahwa mereka bukanlah ahli waris yang telah disebutkan secara rinci dalam al-Quran surah an-Nisa’ ayat 11—12 dan 176, seperti cucu laki-laki dari anak perempuan mayit, anak laki-laki (keponakan) dari saudari perempuan mayit, bibi (saudari perempuan ayah) mayit, dan lain sebagainya.

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jika kita melihat pendapat para ulama terlebih dahulu mengenai apakah mereka berhak mendapatkan warisan apabila mayit tidak memiliki ahli waris dari ashabul furudh dan ashabah?

Apakah Dzawil Arham Mendapatkan Warisan?

Apakah dzawil arham mendapatkan warisan apabila mayit tidak memiliki ahli waris dari ashabul furudh dan ashabah?

Dalam hal ini, ulama terbagi menjadi dua pendapat;

Pendapat pertama menyatakan bahwa dzawil arham berhak mendapatkan warisan. Ini adalah pendapat mayoritas kalangan shahabat salah satunya Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu, ulama mazhab Hambali, mazhab Hanafi dan sebagian ulama Syafii.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa dzawil arham tidak berhak atas harta warisan sehingga apabila tidak ada ahli waris dari kalangan ashabul furudh dan ashabah, harta peninggalan itu diberikan kepada baitul mal untuk kepentingan umat Islam secara umum.

Pendapat kedua merupakan pendapat shahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, ulama mazhab Syafii, dan ulama mazhab Maliki. Namun, ulama mutaakhirin Maliki memberikan syarat apabila baitul malnya berjalan secara teratur dan tersistem.

Dari sini dapat kita pahami bahwa pertanyaan di atas berpegang kepada pendapat pertama yang menyatakan bahwa dzawil arham berhak mendapat warisan jika tidak ada ahli waris dari kalangan ashabul furudh dan ashabah.

Cara Membagi Harta Warisan Kepada Dzawil Arham

Selanjutnya perlu diketahui bahwa membagi harta warisan kepada dzawil arham juga terjadi perbedaan pendapat di kalagan para ulama. Setidaknya terdapat tiga kelompok;

Pertama: pendapat Ahlur Rahmi

Membagikan harta warisan kepada dzawil arham menurut ahlur rahmi adalah dengan cara menyamaratakan bagian, tanpa melihat jauh dekatnya kekerabatan dan tidak membedakan antara laki-laki maupun perempuan.

Mereka dikenal dengan sebutan ‘ahlur rahmi’ karena menganut pendapat yang tidak membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris lainnya. Mereka juga tidak menganggap kuat lemahnya kekerabatan seseorang.

Oleh sebab itulah semua dzawil arham mendapat bagian yang sama. Namun, pendapat ini tidak masyhur, bahkan dianggap pendapat yang lemah (dhaif) dan tertolak. Sebab, pemahaman ini bertentangan dengan kaidah syar’iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawaris.

Kedua: pendapat Ahlut Tanzil

Kelompok ini disebut dengan istilah ‘ahlut tanzil’ karena mereka mendudukkan para dzawil arham pada posisi para ahli waris dari ashabul furudh atau ashabah terdekatnya (yang menjadi wasilah kekerabatan). Sehingga, bagian yang diterima dzawil arham sama seperti bagian ahli waris terdekatnya.

Selanjutnya cara menghitung sebagaimana membagi harta waris kepada ashabul furudh dan ashabah. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan ulama mutaakhirin dari kalangan mazhab Syafii dan Maliki.

Misalnya, ada orang meninggal yang tidak memiliki ahli waris dari ashabul furudh dan ashabah. Yang ada hanyalah kerabat dzawil arham, seperti cucu laki-laki dari anak perempuan, bibi dari jalur ayahnya, bibi dari jalur ibunya, dan keponakan laki-laki dari saudari perempuannya.

Maka cucu laki-laki mendapat bagian seperti anak perempuan, yaitu setengah (½); bibi dari jalur ayah mendapat bagian seperti bagian ayah, yaitu ashabah; bibi jalur ibu mendapat bagian sebagaimana ibu, yaitu seperenam (1/6); dan keponakan laki-laki mendapat bagian sebagaimana saudara perempuan, yaitu setengah (½)—hanya dalam kasus ini ia termahjub oleh kedudukan ayah sehingga tidak mendapatkan bagian.

Ketiga: pendapat Ahlul Qarabah

Pendapat ini menyatakan bahwa hak waris dzawil arham ditentukan berdasarkan derajat kekerabatan mereka kepada pewaris, oleh karenanya disebut ‘ahlul qarabah’.

Mereka membagikan hak dzawil arham sebagaimana haknya para ashabah di mana yang paling dekat dan kuat kekerabatannyalah yang berhak atas harta waris. Selanjutnya, mereka membagi dzawil arham ini ke dalam empat kelompok.

Pertama, kerabat yang dinisbatkan kepada pewaris (bawah pewaris), seperti cucu dari anak perempuan baik laki-laki maupun perempuan dan terus ke bawah, cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah.

Kedua, kerabat yang dinisbati pewaris (atas pewaris), seperti kakek dari ibu pewaris dan terus ke atas, ibu dari ayahnya ibu pewaris dan terus ke atas.

Ketiga, kerabat yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris, seperti anaknya saudari perempuan kandung, seayah atau seibu.

Keempat, kerabat yang bernisbat kepada kakek neneknya pewaris, seperti paman ataupun bibi dari jalur ibu, anak perempuannya paman dan selainnya.

Dengan demikian, menurut ahlul qarabah yang paling berhak atas harta warisan dari dzawil arham adalah yang paling dekat dengan pewaris, yaitu keturunan pewaris (bawah pewaris) seperti cucu, cicit, dan seterusnya ke bawah. Jika tidak ada, maka kerabat atasnya pewaris seperti kakek, nenek, dan seterusnya ke atas.

Jika tidak ada, maka yang dinisbatkan kepada orang tua pewaris seperti keponakan dari saudari perempuan. jika tidak ada, maka barulah diberikan kepada paman atau bibi dari jalur ibu dan jika tidak ada baru sepupu (anak dari paman atau bibi).

Ketika terdapat laki-laki dan perempuan yang sederajat, maka juga berlaku lidzdzakari mitslu haddil untsayain (dua banding satu) sebagaimana pembagian ashabah.

Dari penjelasan di atas, sebetulnya tidak ada yang sulit atau susah dipahami selama kita sudah mengerti dan paham betul pembagaian warisan secara umum kepada ashabul furudh dan ashabah. Namun, jika kita belum memahami pembagian warisan kepada ashhabul furudh dan ashabah, maka akan sulit juga memahami pembagian warisan dzawil arham.

Oleh karenanya, umumnya atau bahkan semuanya, para ulama menjelaskan bab dzawil arham pada akhir pembahasan warisan setelah panjang lebar menjelaskan pembagian warisan kepada ashhabul furudh dan ashabah. Wallahu alam. (Mohammad Nurhadi/dakwah.id)

Baca juga artikel tentang Konsultasi Hukum Islam atau artikel menarik lainnya karya Mohammad Nurhadi.

Artikel Konsultasi Hukum Islam terbaru:

Topik Terkait

Mohammad Nurhadi

Pascasarjana (S2) Hukum Ekonomi Syariah Universitas Darussalam Gontor (UNIDA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *