dakwahid Cabang Iman dan Cabang Kekufuran dalam Akidah Ahlu Sunnah

Cabang Iman dan Cabang Kekufuran dalam Akidah Ahlu Sunnah

Terakhir diperbarui pada · 6,204 views

Iman itu memiliki cabang-cabang. Di antara cabang-cabang iman tersebut ada yang bersifat ushul (pokok) ada pula yang bersifat furu’ (cabang). Antara cabang satu dengan cabang yang lain memiliki batas yang jelas.

Dalam ash-Shahihain terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإيمانُ بِضْعٌ وسبعونَ أو بِضْعٌ وستُّونَ شُعبةً. فأفضلُها قول لا إلهَ إلَّا اللهُ. وأدناها إماطةُ الأذى عن الطَّريقِ. والحياءُ شُعبةٌ من الإيمانِ

“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, cabang yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaah aillallah’, sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 9; HR. Muslim no. 35)

Oleh sebagian ulama, cabang-cabang ini dikategorikan menjadi beberapa macam;

Ada cabang yang berbentuk perkaataan dan perbuatan lahir.

Ada cabang yang berbentuk perkataan dan perbuatan batin.

Ada cabang yang ditunjukkan oleh naluri fitrah shahihah (yang benar) yang ada pada diri manusia, seperti menyingkirkan rintangan dari jalan, bahkan ada pula cabang iman yang bentuknya sama sekali tidak ditunjukkan oleh dalil apapun, cukup dengan fitrah.

Baca Juga: Empat Penyebab Utama Su’ul  Khatimah

Ada pula cabang iman yang tidak bisa diketahui kecuali harus dengan wahyu, seperti ibadah-ibadah mahdhah.

Iman itu tak bisa ditetapkan jika hanya dengan keberadaan salah satu dari cabang iman yang ada. Demikian pula sebaliknya, iman itu tidak bisa hilang jika hanya dengan hilangnya salah satu dari cabang iman yang ada. Penentuan iman baik dengan penetapan atau penghilangan cabang adalah dengan pengetahuan terhadap aturan syar’i dalam hal itu. Oleh karena itu, ada sebagian ulama yang mengklasifikasikan cabang-cabang iman ini berdasarkan sifatnya:

 

Ushul Cabang Iman

Yaitu kalimat laa ilaha illa llahu, baik berupa perkataan, perbuatan, yang lahir, yang batin. Maka setiap keyakinan hati, perkataan lisan, dan perbuatan anggota badan yang tidak bisa menetapkan iman kecuali dengannya itu termasuk bagian dari Ushul cabang iman.

 

Furu’ Cabang Iman

Yaitu cabang-cabang iman yang hanya memengaruhi pertambahan dan pengurangan kualitas iman saja, keberadaannya tidak memengaruhi sah dan tidaknya iman, dan ketiadaannya tidak memengaruhi ketiadaan iman dari dalam diri seseorang.

Banyak orang-orang bodoh yang tidak peduli dengan perbedaan antar cabang-cabang iman, akhirnya mereka juga tidak peduli dengan perbedaan antar cabang-cabang kekufuran. Mereka menganggap bahwa orang yang melakukan sebuah perbuatan baik dan bersosial kepada manusia dengan baik, maka itu cukup untuk menilainya sebagai muslim. Mereka kira keimanan kepada risalah Muhammad bisa didapat cukup hanya dengan keberadaan cabang iman dalam dirinya.

Baca Juga: Sakaratul Maut Pasti Menghampirimu!

Padahal, meskipun setiap manusia melakukan perbuatan yang sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia, itu sama sekali tidak bisa dijadikan alasan penetapan iman dalam diri mereka. Yang terjadi hanyalah diberinya pahala bagi seorang mukmin karena keberadaan cabang iman tersebut, dan tidak ada pahala sama sekali bagi orang kafir yang mengamalkan cabang keimanan itu karena dia masih kufur.

 

Kekeliruan Pemikiran Filsafat Tentang Cabang Iman

Pemikiran filsafat tidak membedakan antara seorang nabi dengan seorang filsuf, sebab pemikiran mereka tidak membedakan antara dalalah fitrah dan tabiat dengan dalalah wahyu dan syar’i, mereka tidak membedakan antara tunduk kepada akal dengan tunduk kepada nash/dalil. Mereka berpemahaman bahwa semua itu adalah sama, sebagai petunjuk kepada kebenaran.

Pemikiran keliru ini dibawa oleh al-Farabi (Ara’u Ahlil Madinah al-Fadhilah, 8; Majmu al-Fatawa, 7/588-589), Ibnu Sina (An-Najat, 310-311; Ar-Risalah al-Adhhawiyyah fi Amril Ma’ad, 44-48), dan tokoh-tokoh filsafat Yunani seperti Arsitoteles dan para pengikutnya (Tahafut al-Falasifah, 12; Ar-Radd ‘Ala al-Manthiqiyyin, 335), serta tokoh-tokoh lintas agama yang terpengaruh pemikiran liberal.

Mereka memasukkan orang-orang yang mengamalkan furu’ cabang iman ke dalam lingkaran status beriman. Mereka juga meyakini orang yang tidak mengamalkan ushul cabang iman itu tidak kafir. Mereka mencampuraduk antara perbuatan-perbuatan duniawi dan hak seorang hamba dengan perbuatan-perbuatan ukhrawi dan hak sang Pencipta.

Baca Juga: Mengapa Dilarang Memberi Ucapan Selamat Natal?

Oleh sebab itu, orang yang tidak paham tentang hakikat iman, substansinya, dan tingkatan cabang-cabangnya, maka dia tidak akan paham hakikat kekufuran, substansinya, berikut tingkatan cabang-cabangnya. Sebab, orang yang paham tentang keimanan, dia akan paham tentang kekufuran.

Orang yang keliru dalam memahami iman, ia akan keliru dalam memahami kekufuran. Setiap cabang-cabang iman adalah kebalikan dari cabang-cabang kekufuran. Jika ada satu point yang tidak dipahami dalam perkara iman, seukuran itu pula ia tidak memahami perkara kekufuran.

Posisi Ahlu Sunnah yang selalu berada di tengah dan adil dalam masalah iman, dapat mengetahui betapa jauhnya setiap kelompok kalangan Murjiah dan Khawarij dari keadilan. Sehingga orang-orang Murjiah akan menganggap Ahlu Sunnah sebagai Khawarij, dan orang-orang Khawarij akan menganggap Ahlu Sunnah sebagai Murjiah. Tiap kelompok tersebut akan menilai dengan standar mereka sendiri, bukan dengan standar al-Haq. (Al-Khurasaniyyah fi Syarh Aqidah ar-Raziyaini, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq ath-Thuraifi, 92-95/Shodiq/dakwah.id)

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *