Belajar Mengendalikan Amarah di Madrasah Ramadhan-dakwah.id

Belajar Mengendalikan Amarah di Madrasah Ramadhan

Terakhir diperbarui pada · 1,558 views

Artikel yang berjudul “Belajar Mengendalikan Amarah di Madrasah Ramadhan” ini adalah artikel ke-7 dari serial artikel #MadrasahRamadhan

 

Kasus pembunuhan terjadi di Kalimantan Tengah pada bulan Februari lalu, sebuah pembunuhan yang dilakukan seorang istri kepada suaminya. Tidak tanggung-tanggung, selain dibunuh, kelamin suami juga dipotong.

Persoalannya sepele sekali. Suami malas bekerja saat istrinya mengajak untuk bertani ke kebun. Penolakan itu membuat amarah sang istri meluap. Ia menjadi gelap mata. Hingga akhirnya suaminya tewas di tangannya.

“Dia sehat. Dia mengakui kok semua perbuatannya dan dalam keadaan sadar, namun penuh emosi.” Jelas Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah, Kombes Hendra Rohchmawan kepada wartawan Detik News, Jumat (28/2/2020)

Kasus serupa juga terjadi di Kendal, pada bulan yang sama. Seorang pria tega membunuh temannya lantaran diganggu saat tidur menggunakan flash kamera ponsel. “Saya Emosi, lalu kepala korban saya pukul pakai batu sebanyak tiga kali.” Tutur pelaku kepada petugas (24/2/2020). (www.kompas.com)

Sumber dari dua kasus pembunuhan ini sama; tidak mampu mengendalikan amarah. Hal yang terlihat remeh, tapi cukup menjadi kayu bakar bagi emosi, nyawa melayang tanpa arti.

Amarah menutup akal dan nurani manusia. Sehingga dalam banyak kasus, kita dapati ia jadi penyebab utama seseorang melakukan tindakan anarkis.

Di dunia ini, betapa banyak kematian yang bermula dari sengketa, bermula dengan ringan saja, namun saat amarah sudah menguasai diri, akhirnya gelap mata, dan terjadilah kematian yang tidak diinginkan. Nyawa manusia melayang karena emosi yang tidak tertahan.

Materi Khutbah Jumat: Al-Quran dan as-Sunnah: Pedoman dan Ruh Kehidupan

 

Dampak Buruk Jika Tidak Dapat Mengendalikan Amarah

Amarah adalah salah satu bentuk emosi manusia seperti bentuk ekspresi lainnya, seperti; senang, tertawa, sedih, geram dan lainnya.  Suatu ekspresi yang membuat suatu perubahan tertentu pada diri manusia.

Emosi amarah bisa memengaruhi perubahan pada fisik maupun psikis. Saat seseorang marah akan terjadi perubahan signifikan pada dirinya; wajah memerah, mata melotot, dan jantung berdetak lebih kencang.

Efek lanjutan pada gejala tersebut terwujud dalam bentuk kata-kata dan tindakan kasar. Oleh sebab itu, kita sering sekali melihat saat seseorang tidak mampu mengendalikan amarah, ia akan mengumpat, menghardik, dan tidak jarang ia juga akan membunuh seperti kasus yang sudah disebutkan.

 

Artikel Tadabur: 4 Isyarat Ilmiah dalam Kisah Ashabul Kahfi

 

Menurut Dictionary of Psychology, unsur-unsur yang mendatangkan amarah bisa beraneka ragam. Karena amarah adalah reaksi emosional akut, ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi. (Nabi pun Bisa Marah: Anger Management ala Rasulullah, H.M. Aref Rahmat,  39-40)

Amarah juga memiliki efek internal kepada pelaku. Aref Rahmat menyebutkan, di antaranya adalah; merusak iman, merusak hubungan rumah tangga, merusak hati, mengganggu syaraf, meningkatkan risiko penyakit jantung, berisiko merusak paru-paru, dan memicu hipertensi serta mempercepat kematian.

 

Pengaruh Puasa Terhadap Emosi Manusia

Rasa amarah, jika dilihat dari anatomi tubuh, ia dihasilkan dari kombinasi serotonin rendah, dopamine tinggi dan noradrenalin yang tinggi. Amarah merupakan gambaran perasaan terhadap suatu objek, seperti peristiwa, perilaku orang, hubungan sosial, dan keadaan lingkungan.

Pada saat kondisi marah, ada stimulus yang menimbulkan ketegangan yang diterima oleh organ sensorik yang memicu adrenalin. Sehingga menimbulkan efek kimiawi dalam tubuh berupa stimulasi yang kuat, sehingga tubuh siaga.

Bentuk siaga tersebut terlihat pada melebarnya pupil mata, detak jantung bertambah, tekanan darah bertambah, dan adanya pertambahan energi. Ketika marah, aktivitas pencernaan melambat karena aliran darah dari perut dan usus dialihkan ke otot dan kulit, sehingga wajah seseorang memerah saat ia marah. (Hubungan Puasa dan Tingkat Regulasi kemarahan, Veri Julianto dan Pipih Muhopilah, 34)

 

Artikel Refleksi: Virus Corona: Hikmah di Balik Musibah

 

Pada saat marah, berbagai energi dalam tubuh dikeluarkan; seperti glukosa dari asupan karbohidrat yang kemudian disalurkan pada otak dan sistem saraf. Oleh karena itu, saat cadangan energi yang ada pada tubuhnya berlebih, maka potensi untuk marah semakin tinggi.

Sedangkan saat puasa, energi dalam tubuh digunakan untuk menutupi kekurangan glukosa., sehingga, puasa dapat menekan munculnya kemarahan sebab kurangnya energi. Dengan kata lain, puasa dapat mengendalikan amarah.

Manusia memang tidak dapat mengontrol proses kimiawi dalam tubuh saat sedang marah. Tapi manusia dapat mengontrol perilaku dan menutup celah datangnya amarah. Dan puasa adalah salah satu cara untuk mengontrol amarah tersebut.

 

Manajemen dalam Mengendalikan Amarah ala Nabi

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memahami bahwa marah adalah sifat bawaan setiap manusia. Hampir semua orang pernah marah dengan sebab dan alasan yang bermacam-macam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dalam beberapa riwayat disebutkan pernah marah dalam beberapa keadaan dengan tanda memerah wajahnya.

Namun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan cara untuk mengendalikan amarah agar kemarahan tersebut tidak berujung pada perbuatan yang merusak dan merugikan.

Berikut beberapa cara mengendalikan amarah menurut Islam sesuai dengan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Pertama: Membaca ta’awudz

Cara pertama untuk mengendalikan amarah adalah dengan membaca ta’awudz.

Sebagaimana yang digambarkan dalam riwayat Sulaiman bin Surd, bahwa suatu saat ada dua orang yang berseteru dengan saling mengumpat. Hingga salah satunya wajahnya memerah hingga terlihat urat lehernya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِد

“Sungguh, ada satu kalimat yang jika diucapkan maka akan hilang kemarahannya. Jika dia membaca ‘Auudzubillahi minsy Syaithanir rajim, marahnya akan sirna (reda).” (HR. Al-Bukhari)

Materi Khutbah Idul Fitri: Waspada Fitnah Akhir Zaman

 

Kedua: Mengubah posisi tubuh

Cara kedua untuk mengendalikan amarah adalah dengan mengubah posisi tubuh. Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبَ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Jika salah seorang di antara kalian marah, sedangkan ia dalam keadaan berdiri, maka hendaknya ia duduk. Demikian dapat menghilangkan marahnya, jika tidak, maka hendaknya ia berbaring.” (HR. Ahmad(

 

Ketiga: Berwudhu

Cara ketiga untuk mengendalikan amarah adalah dengan berwudhu.

Dalam sebuah hadits disebutkan, dari Urwah bin Muhammad as-Sa’di, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ، وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ.

Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api, sementara api akan padam dengan air. Maka jika salah seorang dari kalian sedang marah, hendaknya ia berwudhu.” (HR. Abu Daud)

 

Keempat: Mengingat pahala menahan amarah

Dengan mengingat-ingat betapa besarnya pahala menahan amarah, insyaallah seseorang akan lebih mudah dalam mengendalikan amarah yang sedang memuncak karena sebab tertentu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang berbuat baik.” (QS. Ali Imran: 134)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan, di antara sifat orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan.

Di mana saat ia menerima gangguan yang membuat hatinya dipenuhi kemarahan sedangkan dia mampu untuk meluapkannya dengan ucapan dan perbuatan, akan tetapi dia menahannya dan bersabar atas hal tersebut.

 

Serial #MadrasahRamadhan: Banyak Berdoa di Bulan Ramadhan

 

Memaafkan lebih tinggi dari menahan amarah, karena ia memberi maaf kepada yang mengganggunya secara lisan maupun perbuatan. Ia tidak membalas gangguan dengan gangguan, tapi berlapang dada dengan memaafkan sebagai bentuk akhlak yang mulia. (Taisir Kalim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang keutamaan menahan amarah,

مَنْ كَظَمَ غَيْظاً – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللهُ عَزَّ وَجّلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرُهُ اللهُ مِنْ الْحُوْرِ مَا شَاءَ

“Barang siapa yang menahan amarahnya, sedangkan dia mampu untuk meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, hingga Allah memintanya memilih bidadari yang ia sukai.” (HR. Abu Daud, dari Sahl bin Muadz)

 

Ramadhan: Madarasah untuk Berlatih Mengendalikan Amarah

Menjadi pribadi yang lembut dan tidak mudah marah itu butuh proses. Tidak dengan serta merta berubah. Butuh waktu untuk melatih jiwa dengan akhlak mulia.

Puasa Ramadhan selama sebulan penuh adalah kesempatan buat menempa jiwa agar tidak mudah tersulut api amarah. Paling tidak, selama sebulan penuh kita berlatih mengendalikan amarah dan belajar menjadi pemaaf.

Sifat marah tidak akan hilang. Sifat itu akan tetap ada, karena itu bagian dari psikologi manusia. Hanya saja, di dalam madrasah Ramadhan ini kita bisa belajar mengelola, menata, dan mengendalikan amarah kita.

Agar hidup kita lebih sehat, hubungan dengan orang sekitar lebih baik, dan semoga Allah jadikan kita bagian dari hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Yaitu mereka yang menahan amarahnya saat murka, dan memberi maaf saat mampu berlaku semena-mena. Wallahu a’lam (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *