Perbedaan Sunnah Rawatib dan Sunnah Muakkadah-dakwahid

Perbedaan Sunnah Rawatib dan Sunnah Muakkadah

Terakhir diperbarui pada · 10,600 views

Sunnah rawatib atau Ratibahadalah sunnah yang mengikuti atau membersamai ibadah lainnya. Seperti sunnah qabliyah dan sunnah ba’diyah pada shalat fardhu.

Sebagian ulama menyebutnya sebagai shalat yang memiliki waktu tertentu selain shalat fardhu. Maka dengan pengertian ini shalat ‘idul adha, shalat ‘idul fitri, dan shalat dhuha juga termasuk kategori shalat sunnah rawatib.

Menurut jumhur ulama ahli fikih, shalat rawatib hukumnya mustahab. Sedangkan ulama Hanabilah mengatakan hukumnya makruh meninggalkan tanpa udzur.

Sedangkan sunnah muakkadah adalah sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Abidin berdasarkan nukilan dari al-Bahr:

“Ibadah yang dibiasakan oleh Rasulullah tanpa meninggalkannya maka itu menunjukkan hukum sunnah muakkadah. Jika disertai dengan upaya kadang-kadang meninggalkannya, maka itu menunnjukkan hukum ghairu muakadah.” (Raddul Mukhtar, 1/221)

Oleh mazhab Hanafi, hukum sunnah muakkadah ini disebut dengan istilah Sunanul Huda. Ibnu Abidin Rahimahullah mengatakan, “Sunanul Huda adalah sunnah muakkadah yang mendekati hukum wajib.

Konsekuensi hukumnya, orang yang mengerjakannya mendapat pahala, bagi yang meninggalkannya tidak berdosa namun ada peringatan.

Ciri dari Rawatib/Ratibah ia selalu menyertai ibadah yang lain dengan ketentuan durasi waktu tersendiri.

Dengan demikian, ada kalanya sunnah itu berbentuk rawatib/ratibah dan muakkadah sekaligus. Seperti shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah.

Disebut ratibah/rawatib karena mengikuti ibadah lain(shalat fardhu). Disebut juga dengan muakkadah karena Rasulullah selalu membiasakan dan tak pernah meninggalkannya.

Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata,

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnah sepuluh rakaat.

Yaitu; dua rakaat sebelum shalat Zhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah shalat Maghrib di rumah Beliau, dua rakaat sesudah shalat ‘Isya’ di rumah Beliau dan dua rakaat sebelum shalat Shubuh, dan pada pelaksanaan shalat ini tidak ada waktu senggang buat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Hafshah telah menceritakan kepada saya: “Bahwasanya bila mu’adzin sudah mengumandangkan adzan dan fajar sudah terbit, Beliau shalat dua rakaat.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Ulama fikih madzhab Syafi’i dan Hambali berpegang pada jumlah rakaat yang sepuluh ini. Terkadang juga hukumnya jadi rawatib namun tidak muakkadah.(fatwa.islamweb.net) 

Contohnya empat rakaat sebelum shalat ashar.  Empat rakaat sebelum shalat ashar disebut ratibah karena mengikuti ibadah shalat ashar. Namun bukan muakkadah karena tidak ditekuni dan dibiasakan oleh Rasulullah. Wallahu a’lam. [Shodiq/dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *