Ngaji Fikih #57 Akibat Menunda Qadha’ Shalat Tanpa Uzur.jpg

Ngaji Fikih #57: Akibat Menunda Qadha’ Shalat Tanpa Uzur

Terakhir diperbarui pada · 487 views

Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Kapan Boleh Berijtihad Menentukan Waktu Shalat? Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Akibat Menunda Qadha’ Shalat yang Ditinggalkan Tanpa Uzur.

Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:

Ada dua jenis orang yang mengerjakan shalat di luar waktu ketetapannya. Pertama, jenis orang yang memiliki uzur syar’i. Kedua, jenis orang yang tidak memiliki uzur syar’i.

Islam memaafkan orang yang mengerjakan shalat di luar waktu karena adanya uzur syar’i, namun tidak pada orang yang melakukannya tanpa ada uzur syar’i; bahkan akan dianggap sebagai bentuk kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Masing-masing mereka (dua kelompok di atas) memiliki kewajiban untuk mengqadha’ shalatnya, baik bagi yang beruzur syar’i maupun yang tidak beruzur syar’i.

Lalu apa yang membedakan antara dua kelompok di atas? Yang membedakan adalah hukum mengqadha’ shalat yang telah ditinggalkan.

Orang yang beruzur syar’i disunahkan untuk segera mengqadha’ shalat yang tertinggal, sementara orang yang tidak beruzur syar’i wajib segera mengqadha’shalat yang tertinggal, tidak boleh menunda qadha’ shalatnya sebentar pun.

Dengan begitu, perbedaannya terletak pada sunah atau wajibnya menyegerakan qadha’ shalat yang tertinggal.

Bagaimana penjelasannya? Simak berikut ini!

Pertama: Orang yang Mengerjakan Shalat di Luar Waktunya Tanpa Uzur

Orang yang mengerjakan shalat di luar waktunya tanpa uzur syar’i wajib segera mengqadha’ shalat yang tidak dia kerjakan. Sebagai hukuman atas kemaksiatan yang telah dia lakukan.

Begitu dia sadar bahwa dirinya belum mengerjakan shalat, maka wajib segera mengerjakan shalat yang ditinggalkan tanpa menunda sedikit pun.

Dia wajib meninggalkan semua aktivitas dan langsung mengqadha’ shalat tersebut. Sehingga jika seseorang menunda qadha’ shalat yang ditinggalkan tanpa uzur syar’i, dia akan mendapatkan dosa yang lain.

Seperti inilah, satu kemaksiatan jika tidak segera ditebus dengan pertobatan maka akan menjerumuskan seseorang pada kemaksiatan yang lain, atau pada kemaksiatan yang lebih besar.

Bahkan dia tidak boleh melakukan amalan sunah apapun sebelum mengqadha’ shalat yang dia tinggalkan tanpa uzur tersebut. Wajib segera, tanpa menunda-nunda.

Jika dirinya memiliki kewajiban ibadah yang lain bersamaan dengan waktu itu, maka ditimbang sebagai berikut:

Jika kewajibannya longgar (masih cukup waktu bila dikerjakan setelah qadha’ shalat) maka dia wajib mengqadha’ shalat terlebih dahulu kemudian melakukan kewajiban yang lain.

Akan tetapi, jika kewajibannya sempit (tidak memiliki waktu lain) maka dia boleh mengerjakan kewajiban tersebut dan disusul dengan mengqadha’ shalat yang tertinggal.

Artikel Fikih: Hukum Memandang ke Atas ketika Shalat

Sekalipun orang ini telah melakukan kemaksiatan kepada Allah, tetap saja Islam hati. Dia boleh menunda qadha’ shalat karena darurat makan, tidur, dan darurat-darurat yang serupa.

Misalnya dalam kondisi punggung tidak dapat tegak lantaran kelaparan dan kantuk yang berlebihan, maka dia boleh makan atau tidur terlebih dahulu sebelum mengqadha’ shalat yang tertinggal.

Kedua: Orang yang Mengerjakan Shalat di Luar Waktunya Karena Uzur

Orang yang mengerjakan shalat di luar waktunya karena ada uzur syar’i, disunahkan untuk segera mengqadha’ shalat.

Kenapa orang yang memiliki uzur dibedakan dengan orang yang tidak memiliki uzur? Karena orang yang memiliki uzur terlepas dari tanggungannya. Sebab itulah, dalam masalah ini orang yang mengerjakan shalat di luar waktu oleh sebab uzur syar’i maka dia tetap wajib mengqadha’ shalat, hanya saja disunahkan untuk menyegerakan qadha’nya. Wallahu alam. (Arif Hidayat/dakwah.id)

Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Taarif bi Maani Wasaili al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 175—176, Dar adh-Dhiya’, cet. 2/2014.

Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.

Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith

Artikel Ngaji Fikih Terbaru:

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *